Menyatukan Perbedaan: Mengatasi
Perseteruan Genk Komunitas di Sekolah
Oleh Karnita
Maraknya keberadaan genk komunitas di kalangan remaja, terutama di jenjang SMP dan SMA/SMK, semakin memengaruhi dinamika sosial di lingkungan sekolah. Tidak jarang, ada siswa yang masuk ke sekolah bukan karena ingin menuntut ilmu, tetapi karena ingin bergabung dengan kelompok atau genk tertentu yang ada di sana. Perasaan ingin diterima, memiliki tempat, dan diakui oleh teman sebaya sering kali lebih dominan daripada semangat belajar itu sendiri. Dalam banyak kasus, perseteruan antar kubu genk seringkali berujung pada ketidaknyamanan, kekerasan, hingga gangguan pada proses belajar mengajar di sekolah. Konflik ini tidak hanya merusak keharmonisan antar siswa, tetapi juga menciptakan atmosfer yang tidak kondusif bagi pendidikan.
Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat untuk berkembang, berubah menjadi ajang kompetisi kelompok, di mana perbedaan pendapat bisa dengan mudah berujung pada gesekan fisik dan verbal. Tentu saja, ini bukanlah tujuan dari sebuah lembaga pendidikan. Proses belajar yang seharusnya menjadi fokus utama sering kali terganggu oleh ambisi-ambisi pribadi yang dibawa oleh anggota kelompok atau genk ini. Meskipun ada sebagian kecil yang mampu menjaga keseimbangan antara prestasi akademik dan kebersamaan dalam kelompok, banyak pula yang terjebak dalam pola pikir bahwa eksistensi dalam genk lebih penting daripada pencapaian pribadi atau nilai akademik.
Kondisi ini mengundang keprihatinan mendalam, mengingat sekolah adalah tempat bagi siswa untuk mengembangkan diri secara holistik. Ketika perseteruan antar kubu genk komunitas menjadi lebih penting daripada hubungan antarteman yang sehat, maka pendidikan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Sebuah proses belajar yang ideal bukan hanya tentang pengetahuan semata, tetapi juga tentang membangun karakter, membina rasa saling menghormati, dan menciptakan suasana yang aman bagi semua siswa tanpa adanya diskriminasi atau kekerasan.
Namun, lebih mengkhawatirkan lagi adalah kenyataan bahwa genk komunitas yang ada di sekolah tidak hanya melibatkan siswa yang masih aktif, tetapi juga melibatkan alumni—mereka yang sudah bekerja atau melanjutkan kuliah. Alumni ini seringkali kembali menjadi bagian dari kelompok dan bahkan berperan sebagai pemimpin atau figur yang dihormati dalam kelompok tersebut. Keberadaan mereka memberi pengaruh yang besar, karena mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dan sering kali menjadi sumber inspirasi bagi anggota kelompok yang lebih muda. Hal ini menjadikan masalah semakin kompleks, karena pengaruh mereka dapat memperburuk ketegangan antar genk dan bahkan mengarah pada tindak kekerasan yang melibatkan pihak luar.
Langkah pertama dalam mengatasi permasalahan ini adalah dengan membangun kesadaran di kalangan siswa mengenai dampak buruk dari perseteruan antar genk. Program-program yang mendidik tentang pentingnya toleransi, saling menghormati, dan kemampuan untuk hidup berdampingan meskipun dalam perbedaan sangat diperlukan. Pendekatan semacam ini bisa dimulai dari kelas, di mana guru dan konselor sekolah dapat memberikan materi atau diskusi yang mengarah pada pembentukan karakter yang inklusif dan tidak diskriminatif. Dalam hal ini, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kurikulum yang ditekankan pada seluruh tingkatan.
Selain itu, diperlukan upaya mediasi yang intensif, terutama bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik. Pihak ketiga yang netral, seperti konselor sekolah, guru BK, atau bahkan alumni yang memiliki pengalaman lebih bisa berperan sebagai mediator yang membantu membuka dialog antara kedua belah pihak. Melalui mediasi ini, masing-masing pihak dapat menyuarakan perasaan dan alasan mereka, tanpa merasa dihakimi. Penting untuk menunjukkan bahwa konflik bukanlah jalan keluar dari perbedaan, tetapi penyelesaian damai adalah pilihan yang lebih bijaksana dan produktif.
Sekolah juga bisa mengadakan kegiatan kelompok yang melibatkan semua siswa, terlepas dari latar belakang genk mereka. Kegiatan ini dapat berupa kerja sama sosial, proyek lingkungan, atau acara-acara yang mendorong persatuan. Dengan bergabung dalam satu tujuan bersama, siswa akan lebih mudah melihat pentingnya saling bekerja sama dan mengurangi kecenderungan untuk terjebak dalam konflik yang tidak perlu. Melalui kegiatan ini, siswa dapat merasakan manfaat dari kerjasama dan membangun pemahaman bahwa persaingan yang sehat lebih bermanfaat daripada konflik.
Pendidikan luar kelas juga harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menumbuhkan rasa persatuan. Program-program ekstrakurikuler yang mengedepankan kerja sama dan keberagaman sangat penting. Dari olahraga hingga seni, setiap siswa memiliki kesempatan untuk menunjukkan bakat dan kontribusinya tanpa terbatas pada genk mereka. Ini akan membuka kesempatan bagi siswa untuk saling mengenal lebih dalam dan memahami bahwa kelompok atau latar belakang bukanlah hal yang menentukan sejauh mana seseorang dapat berkembang.
Namun, upaya penyelesaian konflik ini tidak cukup hanya dengan pendekatan di sekolah saja. Orang tua juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak-anak mereka. Komunikasi yang baik antara orang tua dan sekolah akan memperkuat upaya pencegahan konflik. Orang tua harus diberi pemahaman tentang dampak negatif dari perseteruan antar genk ini dan dilibatkan dalam setiap upaya untuk memperbaiki keadaan. Di rumah, orang tua juga harus mengajarkan anak-anaknya tentang nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.
Selain itu, pemimpin dalam kelompok atau genk harus memiliki peran aktif dalam meredakan ketegangan. Sebagai figur yang dihormati dalam kelompok, pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik, seperti menumbuhkan rasa toleransi dan saling pengertian. Mereka juga harus dilibatkan dalam penyelesaian konflik, agar dapat membantu anggotanya memahami pentingnya menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Seorang pemimpin yang bijaksana akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kelompoknya, membimbing mereka untuk menghindari konflik dan memilih jalan damai.
Terkait upaya konkret yang pernah dilakukan oleh pihak sekolah untuk meredakan ketegangan antar genk, salah satunya adalah pelaksanaan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) yang melibatkan kerja sama dengan pihak TNI. Program ini dirancang untuk menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan, dan kerja sama tim. Namun, meskipun program ini dilaksanakan selama dua hari satu malam, hasilnya masih belum optimal. Beberapa siswa merasa bahwa kegiatan tersebut terlalu formal dan tidak sepenuhnya relevan dengan masalah mereka. Terlebih lagi, kurangnya kedekatan emosional antara pihak sekolah, TNI, dan siswa menyebabkan upaya ini terasa kurang efektif dalam meredakan ketegangan antar kubu genk.
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu militeristik, meskipun memiliki nilai kedisiplinan yang kuat, kurang mampu menjangkau inti permasalahan yang ada di dalam dinamika sosial remaja. Siswa membutuhkan program yang lebih bersifat humanis, yang bisa menjawab masalah mereka secara lebih emosional dan relevan. Kegiatan yang melibatkan lebih banyak interaksi sosial, diskusi terbuka, dan partisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah akan lebih memberi dampak positif.
Pada akhirnya, semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif untuk semua siswa. Dengan pendekatan yang tepat, baik dalam bentuk pendidikan karakter, mediasi, atau kegiatan yang melibatkan semua pihak, sekolah bisa menjadi tempat yang membangun kebersamaan dan memperkuat rasa saling menghargai di antara siswa. Untuk itu, diperlukan keterlibatan semua pihak, dari siswa, guru, orang tua, hingga alumni, dalam upaya menjaga perdamaian dan mengatasi konflik. Wallahu a’lam.
Penulis adalah guru SMA Negeri 13 Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H