Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyatukan Perbedaan: Mengatasi Perseteruan Genk Komunitas di Sekolah

11 Januari 2025   15:08 Diperbarui: 11 Januari 2025   15:08 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namun, upaya penyelesaian konflik ini tidak cukup hanya dengan pendekatan di sekolah saja. Orang tua juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak-anak mereka. Komunikasi yang baik antara orang tua dan sekolah akan memperkuat upaya pencegahan konflik. Orang tua harus diberi pemahaman tentang dampak negatif dari perseteruan antar genk ini dan dilibatkan dalam setiap upaya untuk memperbaiki keadaan. Di rumah, orang tua juga harus mengajarkan anak-anaknya tentang nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.

Selain itu, pemimpin dalam kelompok atau genk harus memiliki peran aktif dalam meredakan ketegangan. Sebagai figur yang dihormati dalam kelompok, pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik, seperti menumbuhkan rasa toleransi dan saling pengertian. Mereka juga harus dilibatkan dalam penyelesaian konflik, agar dapat membantu anggotanya memahami pentingnya menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Seorang pemimpin yang bijaksana akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kelompoknya, membimbing mereka untuk menghindari konflik dan memilih jalan damai.

Terkait upaya konkret yang pernah dilakukan oleh pihak sekolah untuk meredakan ketegangan antar genk, salah satunya adalah pelaksanaan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) yang melibatkan kerja sama dengan pihak TNI. Program ini dirancang untuk menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan, dan kerja sama tim. Namun, meskipun program ini dilaksanakan selama dua hari satu malam, hasilnya masih belum optimal. Beberapa siswa merasa bahwa kegiatan tersebut terlalu formal dan tidak sepenuhnya relevan dengan masalah mereka. Terlebih lagi, kurangnya kedekatan emosional antara pihak sekolah, TNI, dan siswa menyebabkan upaya ini terasa kurang efektif dalam meredakan ketegangan antar kubu genk.

Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu militeristik, meskipun memiliki nilai kedisiplinan yang kuat, kurang mampu menjangkau inti permasalahan yang ada di dalam dinamika sosial remaja. Siswa membutuhkan program yang lebih bersifat humanis, yang bisa menjawab masalah mereka secara lebih emosional dan relevan. Kegiatan yang melibatkan lebih banyak interaksi sosial, diskusi terbuka, dan partisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah akan lebih memberi dampak positif.

Pada akhirnya, semua upaya ini bertujuan untuk menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif untuk semua siswa. Dengan pendekatan yang tepat, baik dalam bentuk pendidikan karakter, mediasi, atau kegiatan yang melibatkan semua pihak, sekolah bisa menjadi tempat yang membangun kebersamaan dan memperkuat rasa saling menghargai di antara siswa. Untuk itu, diperlukan keterlibatan semua pihak, dari siswa, guru, orang tua, hingga alumni, dalam upaya menjaga perdamaian dan mengatasi konflik. Wallahu a’lam.

Penulis adalah guru SMA Negeri 13 Bandung   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun