Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Quo Vadis Kurikulum Merdeka di Era Menteri Baru?

11 Januari 2025   17:47 Diperbarui: 11 Januari 2025   17:47 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Quo Vadis Kurikulum Merdeka di Era Menteri Baru?

Oleh: Karnita

Di balik setiap perubahan, selalu ada harapan, namun juga ada tanda tanya yang menggantung. Kurikulum Merdeka yang digembar-gemborkan sebagai solusi pendidikan Indonesia, hadir di tengah hiruk-pikuk pergantian menteri pendidikan. “Merdeka!” seru menteri baru, namun apakah merdeka itu berarti kebebasan sejati bagi anak bangsa, atau sekadar sebuah permainan kata yang membuai? Seperti kata pepatah, "Tidak ada yang baru di bawah matahari," mungkin yang kita sebut 'merdeka' hanyalah ilusi yang tertinggal dari kebijakan-kebijakan yang lalu.

Kurikulum Merdeka dicanangkan sebagai angin segar bagi dunia pendidikan yang terkungkung oleh standar-standar yang kaku. "Kebebasan belajar!" teriak para pejabat di ruang rapat, seolah-olah mereka telah menemukan kunci untuk membuka gerbang perubahan. Namun, apakah para siswa benar-benar mendapatkan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi mereka, atau justru semakin terperangkap dalam kebingungannya sendiri? Apakah mereka akan dapat menemukan makna sejati dari ‘merdeka’ atau hanya akan menjadi anak-anak yang “merdeka” dalam bingkai sistem yang baru? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab.

Kurikulum Merdeka, dengan segala janji kebebasannya, menuntut adanya keseimbangan antara pembelajaran yang fleksibel dan pemahaman yang mendalam. Namun, dalam prakteknya, kita justru melihat terjadinya kebingungan yang semakin mendalam. "Merdeka belajar", terdengar indah di telinga, namun apakah ini berarti kebebasan tanpa arah? Apakah kurikulum ini memberikan ruang yang cukup untuk pengembangan kreativitas atau justru membuat para guru dan siswa kehilangan arah di tengah terangnya sinar bintang yang terlalu banyak?

Di balik slogan kebebasan yang megah, ada pertanyaan yang menggantung: apakah kurikulum ini benar-benar mendorong peningkatan kualitas pendidikan atau hanya sekadar cara baru untuk membingungkan semua pihak yang terlibat? Sebagai contoh, dalam kurikulum baru ini, kita diajarkan untuk berpikir kritis, namun pada saat yang sama, ada kebijakan yang lebih mementingkan pengukuran hasil daripada proses pembelajaran itu sendiri. Bukankah ini sebuah ironi? Seseorang yang diajarkan untuk berpikir kritis, tetapi kemudian dinilai hanya berdasarkan seberapa baik ia bisa mengikuti formula yang telah ditentukan?

Adagium Latin mengatakan, "Ex nihilo nihil fit," yang berarti "dari ketiadaan, tidak akan ada yang terjadi." Dalam hal ini, jika kita ingin pendidikan Indonesia merdeka, maka kita harus berani mengubah dari akar masalah yang ada, bukan sekadar mengganti label pada sistem yang sudah usang. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah perubahan kurikulum ini akan menciptakan sistem yang lebih berkeadilan, ataukah hanya akan memperparah ketimpangan yang sudah ada? Seberapa besar pengaruhnya terhadap daerah-daerah terpencil yang masih terkendala infrastruktur dan akses terhadap pendidikan yang layak?

Kurikulum Merdeka, meskipun tampaknya menawarkan ruang yang lebih luas untuk berkembang, juga membawa tantangan besar. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, pemikiran linear yang mengandalkan hafalan harus digantikan dengan kemampuan berpikir kritis dan problem solving. Namun, di tengah segala perubahan ini, kita tak bisa menutup mata bahwa banyak guru yang masih terjebak dalam rutinitas mengajar yang sama seperti 10 tahun lalu. Apakah mereka siap untuk melaksanakan kurikulum ini dengan penuh pemahaman, atau justru akan terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian?

Banyak pihak berharap kurikulum baru ini akan memberikan dampak yang signifikan dalam membentuk karakter bangsa. Namun, apakah kurikulum ini benar-benar mampu menciptakan generasi yang kreatif, mandiri, dan berpikir kritis, atau hanya akan menciptakan generasi yang “merdeka” dalam kekosongan nilai? Di sinilah pentingnya keseriusan dalam implementasi kurikulum. Jika kita hanya berfokus pada angka dan statistik, tanpa memperhatikan kesejahteraan para pendidik dan kualitas pengajaran, maka hasilnya mungkin hanya sebuah ilusi yang membebani kita di masa depan.

Tantangan terbesar dalam implementasi kurikulum ini adalah perubahan mindset. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan metode tradisional, dengan silabus yang ketat dan ujian yang menjadi ukuran utama keberhasilan, harus beradaptasi dengan perubahan yang menuntut mereka untuk lebih fleksibel, inovatif, dan responsif terhadap kebutuhan siswa. Apakah para guru siap untuk merdeka dari kebiasaan lama, atau justru merasa terpenjara oleh tuntutan yang semakin tinggi?

Dalam implementasinya, kurikulum ini haruslah lebih dari sekadar peraturan baru yang dibuat di atas meja. Kurikulum Merdeka harus menjadi jiwa dari setiap kebijakan pendidikan di Indonesia, yang benar-benar menyentuh dan memberdayakan para guru dan siswa. Apakah ini bisa terwujud? Tidak akan ada perubahan tanpa komitmen nyata dan kerja keras dari semua pihak, mulai dari pemerintah, dinas pendidikan, hingga pihak sekolah yang berada di garis depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun