Mohon tunggu...
Mbedah Alam
Mbedah Alam Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Kutubut Turost

Mbedah Alam

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nenek Imah dan Takjil Puasa

8 Mei 2019   20:25 Diperbarui: 8 Mei 2019   20:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek Imah memang sudah uzur, umurnya yang memasuki tahun 75 tak membuatnya lemah dan malas-malasan menjalani puasa Ramadan kali ini.

Walaupun hidup sendirian tak membuatnya mengeluh, sejak tiga anaknya meninggal karena kecelakaan saat rombongan bis, Nek Imah hidup sebatang kara.

Penghasilan dari berjualan bubur beras merah cukup membuat dapurnya tetap mengepul. Tak banyak yang diperoleh dari berjualan bubur di tepi jalan pinggir pesantren. Kebanyakan pelanggannya adalah para santri. Tiap pagi selalu menyerbu lapak nek Imah buat beli sarapan. Harga yang murah dan rasa yang lezat membuat ketagihan pelanggannya, apalagi para santri, warung yang dicari ada ciri khasnya; murah harganya, dapat banyak dan enak rasanya.

Menjelang magrib, lapak nek Imah selalu penuh pembeli, selain para santri banyak juga orang kampung yang memanfaatkan untuk sekedar beli takjil di lapak nek Imah.

Sudah menjadi tradisi nek Imah, tiap ramadan akan menambah jumlah dagangannya. Selain jualan takjil bubur merah, nek Imah juga menjual macam-macam makanan ringan, ada tahu bakso goreng, kleyem goreng, rondo royal yaitu tape ketela yang digoreng dibungkus gandum, tak lupa es degan menjadi primadona pencari takjil ramadan.

Hari pertama ramadan ini, warung nek Imah buka dari jam empat sore, tidak seperti biasanya yang buka dari pagi. Setiap ramadan jadwal lapak nek Imah berubah jam bukanya. Menjelang magrib biasanya dagangan sudah habis diserbu para pembeli. Selain terkenal lezat juga murah meriah.

Lumayanlah penghasilan nek Imah dari jualan dagangannya, kalau hanya untuk kebutuhan makan, dirasa lebih dari cukup.

"Kang, ini satu teko es degan nanti dibagi sama temen-temen di pondok ya". Kata nek Imah pada seorang santri.

Kebiasaan nek Imah, ditiap ramadan selalu menyisakan satu teko es degan untuk dibagikan ke anak pesantren dekat lapaknya. Suatu kebiasaan yang biasa dinantikan anak pondok, menunggu gratisan es degan dari nek Imah, lumayan, sekedar menghemat uang saku dan bekal di bulan ramadan.

"Iya, nek.". Jawab seorang santri.

Sambil membenahi lapaknya karena waktu azan magrib sudah berkumandang, di waktu seperti ini para pembeli sudah sepi. Nek imah berkemas untuk pulang dari lapaknya.

"Nek, apa sampean gak rugi, bagi-bagi takjil tiap hari?". Tanya seorang santri.

"Kenapa rugi, nak?". Jawab nek Imah ringan.

"Ya, kalau dihitung-hitung satu teko bisa jadi 10 gelas, nek". Kata santri.

"Harga 1 gelasnya 3000 rupiah, kalau dikalikan 10 jadi 30 ribu, nek". Lanjut santri.

"Ya, nggak usah dihitung, nak". Jawab nek Imah.

"Loo..sampean kan dagang, nek. Masak gak dihitung?". Desak santri.

"Ini gak dagang sama manusia, nak. Saya dagang sama Allah". Kata nek Imah.

"Maksudnya, nek?". Tanya santri ingin tahu lebih jauh.

"Ya, kalau dagang sama manusia, paling dapatnya segitu, 30 ribuan, seperti yang kamu hitung". Lanjut nek Imah.

"Ya, nek. La mau banyak yang tinggal naikan harganya to, nek". Sela santri.

"Coba dihitung, kalau dagang sama Allah, 1 kebaikan di bayar 10 kali kebaikan, artinya satu teko di bayar 10 teko oleh Allah, ya kan?". Jelas nek Imah.

"Apalagi ini bulan ramadan, tiap kebaikan dibalas 1000 kali, apa ga hebat itu, nak". Nek imah masih bertutur bak bu nyai.

"Kalau tadi kamu jumlah satu teko seharga 30 ribu, kalau dikalikan 1000 kali, jadi berapa, nak?".

"Masyaallah, betul juga ya, nek". Kata santri.

"Makanya, mumpung ini bulan penuh berkah, semua amal baik dilipatkan pahalanya, saya mau dapat pahala yang berlipat juga, nak. Semoga amal kecil saya ini akan menjadikan berat timbangan kebaikan saya saat di hisab di akhirat". Lanjut nek Imah.

"jangan melulu dagang di dunia ini, lalu lupa dagang untuk akhirat kita, nak". Karena akhirat adalah rumah abadi kita semua".

"Ya, nek, terimakasih nasihatnya ya". Kata santri mengakhiri percakapannya dengan nenek Imah.

Setelah selesai berkemas, nek Imah segera pulang ke rumahnya, bersiap untuk berbuka puasa dan dilanjutkan solat magrib.

Waallhu A'lam.

#KA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun