Sederet rencana pekerjaan rumah ini, pada gilirannya harus terhenti bersamaan dengan didegredasinya gagasan SPAU. Dan semua ini patut disayangkan, karena tanpa perangkat seperti itu serta aturan yang mendukungnya, maka sangat kecil peluang untuk menurunkan tingkat kecelakaan di Indonesia.
Kondisi ini diperparah oleh kenyataan, dana yang disediakan pemerintah masih jauh dari mencukupi. Khususnya, dalam kerangka meningkatkan kualitas jalan di Indonesia agar memenuhi aspek keselamatan. Sejauh ini, jalan propinsi hanya memiliki kecepatan rancang maksimum 80 km/jam. Padahal teknologi otomotif yang juga tidak memiliki aturan pembatasan, memungkinkan sebuah bus atau minibus melaju dengan kecepatan 140 km/jam. Sebuah kondisi yang sama sekali tidak berimbang dan hanya bisa diatasi oleh pembinaan manusia, dalam hal ini pengemudi agar memiliki kesadaran profesi berbasis prinsip keselamatan.
Pertanyaannya, apakah dengan fakta-fakta makin tingginya angka kecelakaan akan membuka peluang untuk melakukan revisi terhadap UU No.22 tahun 2009?
Kita hanya bisa berharap pada kemauan dan keinginan pemerintah serta lembaga legislasi. Dan semestinya, perkiraan angka korban lalu lintas di Indonesia yang mencapai angka 30.000 jiwa per tahun, bisa menjadi indikasi bahwa kita sebenarnya sudah berada di titik paling mengkhawatirkan. Inilah saatnya sebuah tindakan diperlukan dan menjadikan tragedi Sumber Kencono sebagai trigger.
Segala upaya untuk menjatuhkan hukuman pada pengelola Sumber Kencono, hanya akan memberikan shock effect sesaat pada kalangan operator. Tanpa sistem yang mapan, korban lalu lintas dari sektor angkutan umum akan terus berjatuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H