Filantropi dapat dimaknai sebagai cinta kasih ataupun kedermawanan kepada sesama. Filantropi erat kaitannya dengan ajaran Islam terkhusus zakat. Zakat merupakan salah satu pilar agama yang wajib ditunaikan bagi setiap umat Islam. Islam menempatkan zakat sebagai suatu filantropi yang berperan dalam kehidupan ekonomi masyarakat, yaitu sebagai instrumen keadilan sosial. Instrumen keadilan sosial pada zakat  menjamin setiap aliran kekayaan disalurkan kepada kelompok-kelompok yang membutuhkan yang berguna untuk menyelamatkan jiwa manusia (hifdz an nafs). Sejalan dengan hal tersebut, zakat dikenal sebagai ibadah maliyah yang mempunyai fungsi pemerataan karunia Allah swt serta perwujudan solidaritas sosial. Zakat merupakan bukti nyata rasa kemanusiaan dan keadilan, persaudaraan Islam, dan pengikat persaudaraan antar umat dan bangsa.
Zakat semakin berperan penting dalam pembangunan manusia, khususnya di Indonesia. Konsep zakat menjelaskan bahwa harta orang kaya disalurkan kepada orang yang membutuhkan agar mereka dapat menjadi orang yang berkecukupan dan kelak dapat membayar zakat. Zakat dapat meningkatkan kualitas hidup para penerimanya. Dalam Islam kualitas hidup diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola serta memanfaatkan sumber daya alam dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam.
 Zakat merupakan infaq atau pembelanjaan harta yang bersifat wajib, sedang shadaqah adalah sunnah. Dalam konteks ekonomi, keduanya merupakan bentuk distribusi kekayaan di antara sesama manusia. Apabila seluruh orang kaya diberbagai Negara Islam mengeluarkan zakatnya secara proporsional dan didistribusikan secara adil dan merata niscaya kemiskinan akan menjadi sirna. Zakat merupakan sarana distribusi pendapatan untuk menghilangkan kesenjangan ekonomi antara masyarakat ekonomi kelas atas dengan masyarakat ekonomi kelas bawah. Sehingga, zakat berperan sebagai sumber dana potensial untuk mengentaskan kemiskinan.
Fungsi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan sejatinya telah menjadi amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 di dalam Pasal 3. Sesuai dengan Pasal 3B dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan zakat ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Nilai untuk Indeks Kesejahteraan BAZNAS secara nasional berdasarkan standar garis kemiskinan masuk ke dalam kategori Baik (0,62), BAZNAS RI berhasil mengentaskan kemiskinan sebesar 49%. Sementara itu, Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) di Indonesia berhasil mengentaskan kemiskinan rata-rata sebesar 48%.
Lembaga pengelola zakat di indonesia semakin berkembang. Di tingkat pusat, terdapat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), sudah terbentuk 34 BAZNAS tingkat provinsi dan 464 BAZNAS kabupaten/kota. Terdapat 37 Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional, 33 LAZ tingkat provinsi, 70 LAZ tingkat kabupaten/kota yang memiliki izin legalitas dari Kementerian Agama. Terdapat 3 tingkatan Lembaga Amil Zakat, yaitu Nasional (LAZNAS), Provinsi (LAZPROV), dan Kabupaten/Kota (LAZKAB atau LAZKOT). Setiap tingkatan mempunyai syarat minimal jumlah penghimpunan zakat yang berbeda, untuk LAZ Nasional sejumlah Rp50 Miliar, LAZ Provinsi sejumlah Rp20 Miliar, LAZ Kabupaten/Kota sejumlah Rp3 Miliar (Abdurahim, 2018). Dengan adanya lembaga zakat diharapkan penyaluran dan pengumpulan zakat menjadi lebih mudah dan tepat sasaran.
Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat merupakan kegiatan perencanaan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Pengelolaan zakat berasaskan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas. Pengelolaan dan penyaluran zakat harus sesuai dengan aturan syariat Islam, yaitu penghimpunan zakat dilakukan dengan cara yang halal dan tidak memaksa, penyaluran dilakukan secara tepat sasaran kepada para mustahik. Asas amanah artinya penghimpunan sampai penyaluran zakat oleh pengelola zakat harus dapat dipercaya. Asas kemanfaatan berarti pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi para mustahik. Selanjutnya, asas keadilan adalah pengelolaan zakat dilakukan secara adil atau tidak memihak. Asas kepastian hukum artinya adanya kepastian hukum bagi para mustahik dan muzaki dalam proses pengelolaan zakat. Asas terintegrasi adalah pengelolaan zakat dilakukan secara hierarkis dengan tujuan meningkatkan penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Terakhir, asas akuntabilitas adalah kewajiban mempertanggungjawabkan pengelolaan zakat dan zakat dapat diakses oleh masyarakat.
Pengelolaan zakat digolongkan menjadi zakat konsumtif dan zakat produktif. Zakat produktif disalurkan untuk menjalankan kegiatan ekonomi produktif dengan pemberian dana untuk modal usaha. Pemberian zakat produktif kepada mustahik akan mengembangkan potensi produktivitas dan ekonominya. Pendayagunaan zakat sebagai modal usaha akan membantu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Terdapat salah satu contoh usaha mikro yang diperdayakan pada studi kasus Rumah Zakat di Kota Semarang. Dana didistribusi pada empat program utama, yaitu Senyum Juara, Senyum Mandiri, Senyum Sehat, dan Senyum Lestari. Program ini dilaksanakan secara berkelanjutan untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia.
Pengelolaan zakat yang berkelanjutan merupakan proses pengelolaan zakat melalui perencanaan dan berkesinambungan, dengan tujuan untuk menghasilkan manfaat zakat yang optimal bagi para mustahik. Zakat dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan secara berkelanjutan, yaitu melalui zakat produktif. Dana zakat produktif yang dikelola dengan baik dapat membuat usaha mustahik berkembang dan menghasilkan keuntungan secara berkelanjutan. Zakat produktif disalurkan ketika kebutuhan konsumtif para mustahik sudah terpenuhi. Dana zakat produktif akan meningkatkan kemandirian finansial bagi mustahik untuk meningkatkan penghasilan serta memberi lapangan pekerjaan bagi orang lain. Peningkatan penghasilan diharapkan akan mengubah posisi mustahik menjadi muzakki untuk membantu orang lain juga. Siklus ini akan membantu pertumbuhan sosial-ekonomi negara.
Zakat berperan dalam pembangunan sosial-ekonomi, meningkatkan pendapatan riil individu, dan sebagai sarana mencapai keadilan dalam pendistribusian pendapatan. Menurut Islam, tujuan pembangunan ekonomi adalah mendapatkan kehidupan yang baik dan layak. Berdasarkan konsep maqashid syari'ah, kebutuhan dibagi menjadi primer, sekunder, dan tersier. Sehubung dengan teori had al-kifayah, batas kecukupan seseorang dicapai ketika ia memenuhi kebutuhan primernya. Pembangunan sosial dalam perspektif Islam tidak hanya memandang materi saja, melainkan spiritual juga. Seorang muslim wajib menjalankan rukun Islam, salah satunya adalah zakat.
Pengelolaan zakat di Indonesia memiliki beberapa tantangan yang bersumber dari beberapa pihak, seperti muzaki, mustahik, dan amil zakat. Tantangan tersebut diantaranya adalah kurangnya minat seseorang untuk menjadi amil zakat yang mengakibatkan rendahnya sumber daya amil yang professional dan berkualitas, sehingga amil zakat diangkat dari anggota masyarakat yang tidak memiliki keahlian yang cukup tentang pengelolaan zakat. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat muslim untuk menunaikan zakat, sebagian kaum muslim menunaikan zakat hanya ketika bulan Ramadhan saja yaitu berupa zakat fitrah. Ketiga, rendahnya sikap mental dan etos kerja para mustahik untuk memulai usahanya sendiri. Tantangan terakhir berupa tantangan dalam keterbukaan informasi, komunikasi, dan jumlah zakat yang dikelola lembaga zakat, oleh karena itu informasi tentang penghimpunan dan penyaluran zakat harus disusun secara jelas dan terpadu.
Zakat memiliki potensi yang sangat besar di Indonesia karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Zakat merupakan salah satu dari lima pilar dalam agama Islam, yang memiliki tujuan untuk membantu orang yang membutuhkan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Zakat sebagai filantropi sosial Islam artinya zakat berkontribusi dalam mengurangi ketimpangan ekonomi, memberdayakan masyarakat, dan mengentaskan kesenjangan sosial. Pada tahun 2021, BAZNAS menyebutkan bahwa generasi milenial akan menjadi peluang besar Indonesia untuk memaksimalkan potensi zakat. Untuk meningkatkan penghimpunan zakat di Indonesia, perlu adanya sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya zakat, bagaimana cara menghitungnya dan cara membayarnya. Selain itu, peran lembaga zakat dalam menghimpun dan menyalurkan zakat harus transparan dan akuntabel agar masyarakat lebih percaya dan nyaman dalam menyalurkan zakatnya.