Wisata kuliner yang menjadi ciri khas suatu daerah biasanya tidak akan dilewatkan saat berkunjung atau berwisata ke daerah tersebut.
Begitupun dengan saya dan keluarga saat kemarin berkunjung ke satu daerah suami dapat rekomendasi dari temannya untuk satu tempat makan yang memiliki ciri khas, uniknya sang teman memberi catatan kalau kesana jangan saat sangat lapar karena akan antri lama, hal itu membuat kami jadi penasaran.
Kami naik taxi online menuju tempat  yang dituju dengan waktu tempuh 45 menit dari hotel. Tempatnya masih masuk lagi ke gang, kami diturunkan di depan tempat makannya. Saat kami datang parkiran sudah penuh terisi oleh kendaraan.
Bangunannya seperti rumah lama, dapur tempat memasaknya juga malah ada yang masih menggunakan bilik (anyaman bambu). Kami berjalan lalu bertemu antrian di luar ruangan, saya dan anak saya mendiskusikan itu antrian apa, saya menduga itu antrian mau ke toilet karena pengunjung pasti banyak yang berasal dari jauh untuk sampai kesana hingga perlu ke toilet.
Ternyata itu adalah antrian yang mau makan, saya pikir keren sekali sampai bersedia antri lama untuk makan dan ini sebabnya kenapa teman suami  memberikan catatan jangan saat sangat lapar karena yang ada nanti malah emosi saking lamanya mengantri sedangkan perut sudah keroncongan.
Yang lebih unik ternyata menunya tidak banyak hanya nasi, sayur lodeh yang tidak boleh dipisah dengan ambil dilain piring, ayam goreng, telur krispi, tempe goreng, ikan pindang goreng, dan sambal.
Kopi dan pisang goreng juga menjadi salah satu ciri khas di sana. Seperti makan berat untuk dapat pisang gorengnya pun harus masuk daftar antrian.
Memang pantas diburu untuk makanan dengan rasa rumahan yang bisa mengobati rasa kangen atau malah melow karena masakannya mengingatkan pada masakan ibu atau nenek yang sudah tidak ada. Buat saya tempat ini  sangat sukses untuk menjadi tempat tujuan wisata kuliner.
Pertanyaan siapa pemilik tempat  wisata baik wisata tempat atau kuliner lalu menjadi hits dan sukses selalu membuat saya penasaran, apakah penduduk setempat atau milik pendatang (warga setempat suka membahasakannya orang kota).
Pertanyaan kepemilikan ini tidak lupa saya tanyakan ke sopir taxi online yang biasanya hapal sejarah daerah bersangkutan dan jawabannya ternyata pemilik wisata kuliner sukses yang saya kunjungi itu adalah pendatang.
Jadi biasanya ada pendatang yang melihat potensi tempat, walau berlokasi di pinggiran kota atau desa tetapi bisa dikembangkan untuk usaha, dengan modal yang besar tentu pendatang tersebut sanggup untuk membeli lahan yang seringkali malah dinilai masih  murah.Â
Lahan yang dibeli biasanya luas lalu digunakan sebagai investasi warga pendatang dengan dibangun sarana prasarana yang memadai.
Yang dijadikan alasan penduduk setempat mau melepas atau menjual lahan mereka kepada pendatang  kebanyakan jawabannya karena adanya keperluan mendesak, tergiur oleh jumlah penawaran dari pembeli atau orang tua pemilik tanah sudah meninggal dunia dan hasil penjualan dibagikan sebagai warisan untuk anak-anaknya.
Perpindahan kepemilikan lahan dari pendatang dengan penduduk setempat ini tentu memiliki dampak positif dan negatif setidaknya :
Positif
1. Terbukanya daerah yang tadinya terpencil, tidak dikenal, tidak maju atau malah buruk menjadi daerah yang didatangi banyak orang sebagai tujuan wisata.
2. Perbaikan kawasan karena tidak memungkiri daerah yang dijadikanntempat wisata menjadi tertata lebih baik, bersih, dan rapi.
3. Memicu kenaikan perekonomian sekitar dan bisa menjadi jalan rejeki banyak penduduk sekitar.
4. Menaikkan terutama harga lahan milik penduduk.
5. Menarik investor lain.
Negatif
1. Berkurangnya kearifan lokal. Berkurangnya kearifan lokal terjadi karena pendatang tidak dapat dihindari membawa pengaruh tatanan dan seringkali lebih kuat mempengaruhi dibanding kearifan lokal yang ada.
2. Ketidakseimbangan kondisi sosial. Kesenjangan tingkat ekonomi akan makin terlihat besar terutama antara pendatang dengan penduduk setempat yang tingkat ekonominya rendah.
3. Keterusiran masyarakat yang tidak memiliki kejelasan status lahan. Saat pembangunan sampai ke tempat mereka mau tidak mau mereka pergi karena lemahnya kepemilikan.
4. Â Bagi penduduk yang menyewa lahan tidak jarang harus pergi karena harga lahan sewa menjadi tinggi.
5. Makin sedikit lahan yang dimiliki penduduk asli karena biasanya pendatang membeli tanah cukup luas sebagai investasi.
Proses pendatang yang menjadi pemilik lahan menggantikan penduduk asli sering dikenal sebagai gentrifikasi, walau biasanya gentrifikasi cenderung terjadi pada kawasan yang dekat dengan pusat kota, dilalui layanan transportasi masal, dan pada kawasan yang memiliki stok perumaham lama. Sumber
Memang tidak terelakan gentrifikasi sekarang ini namun sebaiknya keselarasan antara pendatang dan penduduk asli harus baik atau malah saling memberikan keuntungan.
Karla Wulaniyati untuk Kompasiana, 17 September 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI