Sejak pandemi terjadi dan kegiatan mengajar menjadi online termasuk program di rumah aja digalakkan menjadi penyebab saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Ada tatanan kehidupan baru untuk saya yaitu menjadi orang rumahan sepenuhnya.
Pekerjaan rumah jadi tidak dilakukan hanya saat libur atau akhir pekan saja, tetapi new normal pekerjaan rumah dikerjakan setiap hari, walau untuk mencuci pakaian tetap dilakukan seminggu sekali atau dua kali.
Bersih-bersih rumah (walau rumahnya tetap tidak kinclong...yaaahh), mencuci pakaian, dan yang terasa adalah memasak.
Tidak jarang saya memasak sehari sampai tiga kali seperti minum obat saja, masak pagi untuk sarapan, masak siang, dan masak sore untuk makan malam.
Memasak buat saya ada dinamikanya karena saat makanan yang sudah repot dipersiapkan ternyata tidak enak atau gagal maka sedih dan kecewa bukan main. Jadi kalau buat saya ada kekhawatiran tersendiri kalau masak yaitu gagal.
Kegagalan saat memasak biasanya akibat ulah satu bumbu dapur yaitu garam. Kalau saya terlalu lengket dengan garam makanan bisa keasinan, kalau lagi slek sama garam maka makanan saya bisa hambar.Â
Sebagus apapun penampilan makanan dan selengkap apapun bumbunya kalo hambar, ujung-ujung saya bisa pucet dan kesal merasai hasil masakannya.
The only thing thats counts is if you know how to prepare your ingredients. Even if with the best and freshest ingredients in the world, if you dish is tasteless or burnt, its ruined. (Martin Yan)
Kutipan dari Martin Yan itu cocok sekali dengan penjabaran memasak dengan hasil yang hambar. Walau tahu bagaimana mempersiapkan segala sesuatunya seperti bahan sebaik atau sesegar apapun, juga tahu cara memasaknya tetapi kalau hambar, rusak sudah makanan yang tersajinya.
Mirip dengan menulis, tulisan juga bisa hambar (tulisan/artikel saya masih banyak yang masuk kategori ini...hhhh), dan itu ada penyebabnya. Berdasarkan pengalaman menulis di antara yang sudah saya lalui jika menayangkan artikel hambar penyebabnya adalah:
1. Terburu-buru menulis karena tulisan/artikelnya ingin segera ditayangkan.
Saya itu sering sekali saat mood menulisnya sedang datang terburu-buru untuk menayangkan artikel. Hantu diri menjadi penyebab terbesar dengan membujuk yang penting menayangkan artikel dulu tidak usah memikirkan apa-apa daripada tidak menayangkan sama sekali.
O, ya maksud istilah hantu diri bagi saya adalah hal tidak baik yang menjadi bujukan yang terjadi dalam diri sendiri untuk melakukan hal yang tidak tepat/salah.
Proses pencarian literatur baik dari buku, artikel lain, atau sumber yang lain pasti dilewat. Self editing ditabrak dan pasti akan banyak salah pemilihan kata, typo disana sini, dan kesalahan lainnya.
Tulisan/artikel yang tidak rapi dilihat dari sisi manapun buat saya menjadikan sebuah tulisan hambar, walau tidak mengurangi nilai yang ingin disampaikan tetapi pembaca seringkali terganggu saat membaca, ganjel sekali kan ?
Cara memperbaikinya (untuk saya cukup manjur) adalah pasang rem pada diri kalau keinginan buru-buru menayangkan artikel datang. Akan lebih baik sabar sedikit dan menempuh tahapan menulis agar artikel yang disajikan tidak terlalu hambar walau belum bisa selalu menggigit dan ngangenin.
2. Motivasi yang kurang
Motivasi yang kurang menyebabkan kemalasan (saya sering ada ditahapan ini) karena tujuan yang akan disasar tidak membuat semangat.
Misalkan tujuan akhir yang disasar saat menulis ternyata menghasilkan artikel yang hanya lewat, tidak diminati, apalagi tidak menghasilkan itu membuat berkurangnya motivasi membuat artikel yang bagus.
Tujuan yang disasar membuat tidak semangat dan itu membuka lebar menghasilkan artikel yang hambar. Cara mengatasinya untuk saya adalah selalu memupuk dan merawat motivasi dimulai dari niat saat menulis.
Berniat saat menayangkan artikel bisa saling berbagi dan menularkan kebaikan, menambah ilmu, bersilahturahmi, dan hal lain yang membahagiakan bukan secara materi tetapi membahagiakan secara mental. Kalau terus ternyata menghasilkan materi itu jadi satu bonus tersendiri yang tentu membahagiakan juga (dapat k-reward misalnya).
Tidak mudah saat menjalaninya karena memang perlu berkompromi dengan diri sendiri karena itu perlu selalu dirawat dan dipupuk hingga menghasilkan motivasi kuat dan tujuan yang membuat semangat.
3. Tidak hanya cukup tahu, praktik!
Mengetahui cara menulis yang baik itu perlu dilakukan agar tidak selalu menabrak kaidah penulisan.
Belajar terus tetapi tidak cukup hanya tahu karena menulis itu harus diwujudkan dan dipraktekkan.
Kalau sudah tahu membuat tulisan yang enak dan renyah serta meghindari tulisan yang hambar maka segera wujudkan jangan hanya diangan-angan.
Jadi tulisan yang hambar bisa terjadi kalau seorang penulis baru sampai tahapan tahu harus bagaimana tetapi tidak diwujudkan ke dalam praktek saat menulisnya.
4. Menginginkan kesempurnaan.
Seringkali saya merasa tidak pede saat membaca artikel kompasianer apalagi artikel kompasianer yang banyak dibaca, artikel yang ada di headline, dan artikel lain yang sudah sangat baik.Â
Hal itu tidak jarang memacu saya untuk membuat artikel sesempurna mungkin tetapi ternyata hal itu justru tidak tepat, saya malah membuat artikel yang hambar kurang di sana-sini. Kutipan ini bisa menjelaskan apa yang saya maksudkan.
Being perfect is like being tasteless.
Like if our stomach is always full, how can we taste and enjoy new food ? (Raynesh)
Ternyata tidak memaksa apalagi sampai berusaha sesempurna mungkin saat membuat artikel merupakan jurus jitu yang membuat menulis jadi santai dan mengalir lancar, selanjutnya biarkan nasib yang mengantarkan artikelnya akan berlabuh dimana.
4. Berdoa.
Buat saya berdoa itu jadi komponen penting yang harus dilakukan. Karena dengan berdoa biasanya lebih tenang, tidak dipengaruhi "hantu diri", lebih lancar saat proses, tidak jarang saat setelah berdoa kegiatan/pekerjaan seperti mengalir mengikuti arusnya.
Saat menulis setidaknya sebelum menayangkan artikel berdoa jadi satu trik agar artikel yang ditulis isinya baik dan yang menyenangkan adalah bisa berguna dan bisa jadi jalan kebaikan.
Jadi yang saya alami jika tulisan saya hambar dan kelanjutan dari kehambaran tulisan itu tidak ada kemungkinan besarnya saya tidak berdoa.
Seserius itukah ? Buat saya iya seperti itu, kalau terus ternyata saat sudah berdoa artikelnya tetap hambar maka kelanjutannya adalah kehambaran artikel akan menjadi pendorong yang baik agar bisa jadi jalan memperbaiki pada artikel berikutnya, bukan malah menjadi pengerem kapok untuk menulis lagi.
Bedanya hambar tidak berdoa dan hambar dengan berdoa adalah jika tidak berdoa hambarnya jadi pemberat dan pengerem sedangkan kalau berdoa hambarnya menjadi pendorong agar bisa lebih baik.
Sama seperti saat memasak ada bumbu yang berusaha tidak lupa saya lakukan yaitu berdoa dengan berniat masak untuk keluarga agar masakannya enak, menjadi jalan sehat bagi yang memakan juga jadi jalan semangat ibadah karena dalam kondisi sehat.
Kalau ternyata makanannya tetap hambar ? Yaa masak lagi dengan mengingat apa penyebab atau takaran garamnya yang menyebabkan makanan sebelumnya gagal dan hambar, dengan catatan tidak usah melihat dan menanyakan orang rumah saat mereka makan makanan yang hambar, bisa bikin patah semangat...hehehe.
Salam artikel hambar dari saya walau saya akan tetap berusaha dan belajar biar bisa membuat artikel yang lebih baik dan tidak hambar lagi.
Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang 4 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H