Cilia mulai menceritakan kisahnya. Ternyata Cilia merantau dari kampung sejak beberapa tahun lalu. Meninggalkan seorang ibu yang sudah tua. Bertujuan ke kota agar mendapat banyak uang agar hidupnya berkecukupan dengan ibunya.
Sesampainya di kota Cilia malah mendapati kehidupan yang keras seakan menolak keberadaan dirinya yang berusaha sekuat tenaga agar bisa kerja mendapatkan apa yang menjadi tujuannya merantau.
Sampai akhirnya diterima disebuah club malam dan sejak itu kehidupan malam menjadi akrab dengannya.
"Lama-lama saya lelah Bu, kehidupan berlaku tidak adil pada saya." Cilia menunduk dan kembali berlinang.
"Sampai tadi malam saya akhirnya memutuskan pergi dan inginnya pulang menemui ibu saya." Cilia mulai terisak.
"Tapi saya malu menemui ibu karena di kota saya melakukan pekerjaan yabg kurang baik, walau saya tidak melakukan perbuatan nista dan dosa. Karena saat dihadapkan pada perbuatan dosa seolah muka ibu saya ada di depan mata." Cerita Cilia disela-sela isakan.
"Saya ingin pulang, tapi tidak ke rumah ibu, saya ingin langsung pulang menuju keabadian saja." Tangis Cilia pecah.
Ibu mulai mengerti apa yang terjadi. Ibu membiarkan Cilia menangis dan menunggu sampai tenang.
"Seorang ibu akan menerima anaknya bagaimanapun kondisinya. Karena yang terpenting bagi seorang ibu adalah keberadaan anaknya bukan kesuksesan atau uang yang dimiliki anaknya. Maka pulanglah ke rumah ibumu." Ibu berbicara sambil mengusap punggung Cilia.
"Jangan mengambil jalan menuju pulang ke arah rumah yang salah. Kalau kau bunuh diri bukan kesenangan dan selesai masalahnya. Tapi malah mengantarkanmu pulang ke rumah yang salah yaitu kesengsaraan di kuburmu juga rumah neraka di akheratmu." Ibu bicara cukup tajam agar langsung menampar dan membuat sadar Cilia yang sedang berada dipersimpangan jalan agar tidak salah memilihnya.
"Tapi saya malu untuk pulang, Bu."