Mohon tunggu...
Karla Wulaniyati
Karla Wulaniyati Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Membaca, (Kadang-kadang) Menulis, Menggambar Pola/Gambar Sederhana

Let the beauty of what you love be what you do (Rumi)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dongeng| Ibu, Kenapa Mereka Membenciku?

10 Desember 2018   15:23 Diperbarui: 11 Desember 2018   07:58 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa yang asri ada sebuah peternakan paling besar. Pemiliknya bernama pak Andi. Banyak binatang ternak yang dipelihara. Kandangnya seperti gudang besar. Tiap kandang berbeda binatangnya. Untuk membedakan pak Andi mencat kandang dengan warna berbeda. Kandang berwarna kuning untuk domba. Kandang hijau untuk ayam. Kandang coklat untuk sapi.

Aku tinggal dikandang berwarna hijau. Ada ibu, ayah dan beberapa saudaraku, kami 7 bersaudara. 

Sepertinya musim hujan sudah mulai. Karena setiap hari hujan selalu turun. Kalau sudah turun hujan kami selalu senang karena akan banyak kubangan air yang bisa kami pakai untuk bermain. Cacingpun akan berlimpah dan itu makanan kesukaan kami semua.

Kalau berburu cacing akan menjadi pengalaman tersendiri, karena sangat seru. Tapi itu untuk mereka, seringkali aku hanya menyaksikan keseruan saudara-saudaraku saja. Jarang yang mau bermain denganku, jangankan yang lain saudaraku saja seperti enggan malah terlihat benci padaku. Kecuali ada satu adik terkecilku, dia yang paling sayang kepadaku selain ayah dan ibu tentunya.

Semalan hujan turun, bisa dipastikan pagi ini kami akan berpesta main dikubangan dan berburu cacing.

" Kak, ayo tidur besok kan kita main kubangan, aku sudah tak sabar. " Adik terkecil membujukku agar mau memejamkan mata, tapi kesedihan yang malah kurasakan. Aku tak ingat kapan mulai memejamkan mata setelah lelah memikirkan kenapa aku selalu dibedakan karena tidak mendapat jawabannya akhirnya aku tidur juga.

Paginya, riuh bukan main mereka tak sabar menunggu pegawai pak Andi membuka gerbang kandang. Begitu terdengar suara sepatu boot berjalan mendekati kandang, semua sudah bersiap di depan kandang, persis seperti menunggu toko sale akhir tahun yang akan diserbu pembeli. Tak menunggu lama begitu pintu terbuka semua hewan berhamburan keluar. Hanya beberapa saja yang tidak berminat keluar kandang dengan berbagai alasan termasuk aku.

" Wah, sepertinya banyak yang melewatkan sarapannya nih." Pegawai pak Andi bergumam sendiri melihat penghuni kandang hijau berhamburan tanpa makan terlebih dulu. Setiap hari pegawai pak Andi membawa makanan sebelum peliharaannya dikeluarkan. Akhirnya makanan yang dibawa dibagi-bagi disetiap rumah ayam-ayam itu.

"Hai cantik, kok tidak ikut keluar ?" pegawai pak Andi menyapaku dan kubalas dengan tatapan sinis sambil tak acuh, gaya sekali kan aku ?.

Ibu menghampiriku dan mengelus kepalaku. Ibu pasti tahu ada yang sedang kupikirkan. Aku suka heran kenapa ibu selalu tahu kalau aku sedang dapat kesulitan.

"Ada apa nak ? kok tidak ikut dengan yang lain ?" aku meletakkan kepala dipangkuan ibu.

"Ibu kenapa mereka membenciku ?"   aku makin membenamkan kepala dipangkuan ibu. Tak lama ayah menghampiri kami dan duduk bertiga.

"Kenapa kau bicara seperti itu ?" ayah bertanya sambil membelai kepalaku.

"Sejak kecil aku selalu diperlakukan berbeda bahkan oleh saudaraku. Tidak pernah diajak bermain, berburu cacing, kalau ikut main aku pasti ditinggal sampai dulu waktu aku kecil tersesat tidak bisa pulang." Air mataku bergulir.

"Kenapa mereka membenciku dan kenapa aku berbeda dengan mereka Ibu ?" aku memandang ayah dan ibu bergantian.

"Sepertinya kau harus tahu yang sebenarnya karena sekarang Kau sudah besar." Ibu memandang ayah meminta persetujuan yang dijawab ayah dengan anggukan.

Aku bingung dan takut apa ada rahasia tentang diriku. Aku gemetaran membayangkan apa yang akan diungkapkan ayah dan ibu.

"Kamu itu bukan anak kandung kami" ibu sudah sehalus mungkin menyampaikan berita itu, tapi tetap saja bagiku bagai petir yang tiba-tiba menghantamku.

"Maksud Ibu apa ?" tak terbendung lagi air mataku mengalir. Tidak ikhlas kalau aku bukan anak ayah dan ibu sebaik ini. Kenapa bisa begini. Pantas saja aku disisihkan. Ternyata aku bukan anak ibu dan ayah. Air mataku semakin deras turun. Setelah mereda tangisanku ibu kembali bercerita.

"Satu hari ibu dan ayah menemukanmu di luar kandang. Kami sudah mencari siapa pemiliknya. Karena tidak menemukan akhirnya kami bawa dirimu ke kandang." Ibu dengan lembut menceritakan awal mula keberadaanku.

"Tapi kami tidak membedakanmu kan ? Sayang kami kepadamu sama saja, karena engkau pun anak kami tercinta walau bukan berasal dari perutku. Kamu malah menjadi anak kami yang paling hebat dan kuat yang menjaga saudara-saudaramu dari yang tidak baik pada mereka bukan ?" Ibu mengingatkan aku pada apa yang selalu aku lakukan jika ada yang mengganggu saudaraku.

"Tapi kenapa aku berbeda ?, yang membuat mereka membenciku." Aku masih tidak mengerti.

"Karena engkau memang tidak seperti kami." Ibu kembali menjelaskan. Apalagi ini ?. Selain bukan anak ayah dan ibu ternyata aku kata ibu berbeda dengan mereka.

"Berbeda bagaimana ?" aku tambah sedih.

"Lihat bulumu berbeda bukan ? ibu, ayah dan saudaramu bulunya berwarna hitam, sedangkan kau putih, bersih, indah sekali" ibu membandingkan bulu kami. Aku mengangguk.

"Kita sama-sama unggas, bedanya ibu, ayah dan saudaramu ayam, sedangkan dirimu angsa." Ibu membelai bulu indahku.

"Angsa ?" tanyaku menegaskan. Ayah dan ibu menangguk. 

"Engkau anugerah dari Yang Maha Kuasa. Walau berbeda tapi engkau memiliki banyak kelebihan. Lihatlah, engkau yang paling kuat agar bisa menjaga saudaramu. Adik terkecilmu sangat mengagumi dan menyayangimu. Tidak apa-apa engkau berbeda dari yang lain, asal selalu berguna hidupmu akan luarbiasa." Tentram aku mendengarkan penjelasan ibu.

"Lalu kenapa mereka membenciku ?" tanyaku pada ibu.

"Mereka tidak membencimu, engkau hanya harus belajar menyesuaikan diri karena dari jenis yang berbeda. Wujudmu angsa, tapi engkau adalah keluarga ayam yang kami cintai." Ayah dan ibu mencium kepalaku.

"Sana keluar bermain dan berburu cacing, jaga adikmu biar tidak terinjak yang lain." Ibu mengingatkanku.

"Kau itu angsa yang cantik dan kuat yang akan menjaga saudaramu. Tidak apa-apa berbeda karena kami tetap sayang padamu." Ibu menguatkanku kembali. Aku mengangguk mengerti.

Pantas saja aku berbeda, ternyata aku angsa. Angsa yang kuat yang akan menjaga saudara dan keluarga yang mencintaiku.

"Brother, wait for me, i am coming" aku berlari karena takut kehabisan cacing.

###

Karla Wulaniyati untuk Kompasiana
Karawang, Senin 10 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun