Oleh : Budi Purnomo Karjodihardjo
PADA saat ini persidangan kasus dugaan penistaan agama sedang berlangsung, dari pemberitaan media terlihat bahwa proses peradilan ini akan memakan waktu yang relatif panjang.
Saya tidak ingin membahas soal content material terkait masalah hukumnya, tetapi secara khusus akan memotret strategi komunikasi yang dilakukan oleh Tim Pembela secara spesifik, dari kacamata teori pemulihan citra.
Prof William Benoit yang melahirkan Image Restoration Theory menyebutkan bahwa terlepas dari persepsi publik itu salah atau benar, tetapi dari sisi komunikasi pada prinsipnya setiap tokoh atau institusi ingin agar dirinya terlihat lebih baik dan terlihat lebih benar.
Itulah sebabnya mengapa dalam setiap strategi komunikasi (apalagi ketika terjadi krisis komunikasi) diperlukan upaya-upaya pemulihan citra dan reputation revovery sseperti yang disampaikan dalam teori komunikasi Image Restoration Theory.
Salah satu pilar penting dalam implementasi Image Restoration Theory atau teori pemulihan citra ini adalah strategi yang disebut Reducing Offensiveness of Event (ROE).
Dalam strategi Reducing Offensiveness of Event, goalnya nanti akan mengkondisikan bahwa pihak yang melakukan kesalahan sebenarnya sangat pantas diberikan keringanan, bahkan diberikan pengampunan.
Sebenarnya ada enam pilihan implementasi yang penting dilakukan dalam strategi komunikasi Reducing Offensiveness of Event (ROE), agar mendapatkan apresiasi publik yang positif sesuai dengan yang diharapkan.
Semuanya ada plus dan minusnya, tergantung seberapa krisis yang sedang dihadapi. Tentu saja pilihan mana (dari enam langkah) langkah strategi pemulihan citra itu pun memiliki konsekuensinya masing-masing.
Nah, dari sekian pilihan itu, menurut saya disadari atau tidak, Tim Pembela terlihat memilih implementasi dari strategi komunikasi Reducing Offensiveness of Event yang nomer lima, yaitu Attack Accuser.
Cara kerja Attack Accuser adalah dengan menyerang kredibilitas yang menuduh, dan dengan mempertanyakan kompetensi, latar belakang, track record dan hal-hal lainnya, agar perhatian publik pun berpindah ke si penuduh.
Implementasi dari program ini bisa dilihat bukan hanya di dunia nyata, dan di persidangan, juga di dunia digital pun strategi Attack Accuser ini bisa terlihat dan sangat bisa ditelusuri.
Pertanyaannya, efektifkah pilihan strategi ini untuk memenangkan opini publik yang nantinya potensial menjadi pertimbangan keputusan hakim?
Tentu kita tidak bisa menilainya saat ini. Nanti, sang waktu yang akan menjelaskan kepada kita, hasilnya seperti apa.
STRATEGI SELAIN ATTACK ACCUSER
Dalam Image Restoration Theory, selain strategi Attack Accuser, sebenarnya masih ada lima strategi lainnya di dalam lingkup strategi Reducing Offensiveness of Event (ROE).
Menurut saya, strategi komunikasi yang lainnya pun perlu dipertimbangkan ketika mengalami persoalan krisis komunikasi, sehingga bisa meraih simpati publik. Antara lain :
Pertama, adalah Bolstering. Yaitu dengan mengutip dan menyajikan data-data mengenai tindakan-tindakan positif sebanyak mungkin yang sudah dilakukan di masa lalu, dan bisa diterima publik dengan baik.
Kedua, adalah Minimization. Melakukan upaya-upaya yang bisa mengurangi perasaan negatif dengan cara-cara persuasi kepada publik, sekaligus meyakinkan publik bahwa yang terjadi tidaklah seburuk seperti yang dipikirkan, dipersepsikan, atau bahkan yang terjadi.
Ketiga, adalah Differensiasi. Yaitu dengan membandingkan perbedaan perlakuan atas kesalahan yang dilakukannya dengan yang dilakukan orang lain yang juga melakukan hal yang sama.
Keempat, adalah Trancendence. Yaitu dengan membandingkan suatu kejadian tetapi dalam konteks yang berbeda.
Kelima, adalah Compensation. Yaitu dengan memberikan ganti rugi sebagai bentuk tanggungjawab atau menebus kesalahan yang telah terjadi, agar perbuatannya diampuni dan reputasi balik menjadi baik.
BACA Â JUGA ARTIKEL TERKAIT : Â
Pemalsuan Akun Medsos VS Image Restoration TheoryÂ
Ini yang Harus Dilakukan, Jika Anda Diserang Hoax
Kiat-Kiat Menghadapi Berita NegatifÂ
PENUTUP
Menghadapi persoalan komunikasi yang rumit, memang diperlukan strategi yang tepat akan menghasilkan pencitraan sesuai dengan yang diharapkan.
Pilihan-pilihan implementasi dalam Image Restoration Theory di atas dapat menjadi referensi untuk pengsmbilan keputusan untuk menghandle crisis of communications.
Soal efektifitasnya, tentu harus disimulasikan dengan seksama. Namun memilih resiko yang kecil dengan respon publik yang paling bersahabat, saya rasa itulah yang paling efektif.
Yang jelas, jika personal/institusi sedang mengalami krisis komunikasi, jangan tenggelam atau diam di dalam jurang masalahnya.
Sebaiknya cepat mengambil keputusan yang terukur untuk melakukan upaya-upaya pemulihan citra secara tepat. Semoga dengan demikian, badai cepat berlalu. (*)
Budi Purnomo Karjodihardjo adalah seorang mediapreneur dan praktisi digital public relations. Budi dan Komunitas Sapu Langit (KSL) nya menyediakan waktu untuk membantu personal/korporasi yang menghadapi masalah komunikasi dengan pendekatan Image Restoration Theory. Untuk berkomunikasi dengan beliau, silahkan hubungi : bp@mediacenter.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H