Di era digital yang semakin maju, teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Generasi Alpha. Generasi alpha adalah kelompok anak-anak yang lahir antara tahun 2010 hingga 2025. Mereka adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam dunia digital, di mana gadget seperti smartphone dan tablet sudah menjadi hal biasa, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan hiburan. Hal ini menjadikan mereka sangat akrab dan terampil dalam menggunakan perangkat digital, bahkan sering kali lebih mahir dibandingkan orang tua mereka pada usia yang sama. Namun, dengan semua kemudahan yang ditawarkan teknologi, muncul pertanyaan penting: bagaimana kita bisa menjaga rasa ingin tahu dan motivasi alami anak-anak agar tetap hidup di tengah dunia digital ini?
Mengapa Motivasi Intrinsik Penting?
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri individu, dalam hal ini anak, untuk melakukan sesuatu karena rasa penasaran atau ketertarikan (minat) internal atau diri mereka sendiri. Ini merupakan unsur yang sangat esensial dalam perkembangan anak. Dalam psikologi, motivasi intrinsik dianggap sebagai pendorong utama yang dapat mendorong eksplorasi, pembelajaran, dan kreativitas  (Myers & DeWall, 2015). Namun, sayangnya, lingkungan digital sering kali menggantikan pengalaman eksplorasi nyata dengan pengalaman instan yang dapat mengurangi atau melemahkan motivasi intrinsik ini.
Menurut Myers (2015) motivasi anak tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal, tetapi juga oleh faktor sosial dan kognitif. Motivasi intrinsik cenderung lebih tahan lama dibandingkan motivasi ekstrinsik, seperti hadiah atau hukuman, karena datang dari kepuasan peribadi. Penelitian oleh Zhao et al. (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang belajar menggunakan aplikasi berbasis gamifikasi mengalami peningkatan motivasi intrinsik hingga 35% dibandingkan dengan mereka yang belajar dengan cara tradisional.
Belajar Melalui Pengamatan
Teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura (1988) Â juga memberikan wawasan penting tentang bagaimana anak-anak belajar. Bandura menjelaskan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain. Dalam dunia digital saat ini, mereka sering melihat perilaku influencer atau karakter di platform seperti Youtube dan Tiktok. Menurut laporan dari Common Sense Media (2022), rata-rata anak berusia 8 hingga 12 tahun menghabiskan hampir 5 jam sehari di depan layar, sebagian besar waktu itu dihabiskan untuk menonton video hiburan. Dalam hal ini, jika anak-anak lebih banyak terpapar pada konten pasif daripada aktif, mereka dapat kehilangan rasa ingin tahu alami yang seharusnya mereka miliki.Â
Studi oleh Przybylski dan Weinstein (2020) menemukan bahwa konsumsi media digital pasif yang berlebihan menurunkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi eksplorasi hingga 20%. Di sisi lain, penelitian oleh Li dan Lerner (2022) menunjukkan bahwa anak-anak belajar melalui platform interaktif melalui bimbingan orang tua memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi hingga 40%. Di Indonesia, beberapa sekolah mulai mengadopsi teknologi serupa melalui program coding untuk anak-anak. Contohnya, seorang siswa berhasil membuat aplikasi sederhana untuk membantu orang tua menghitung pengeluaran rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa jika digunakan secara tepat, teknologi dapat menjadi alat yang luar biasa dalam mendorong kreativitas anak.
Rekomendasi untuk Orang Tua dan Pendidik
Batasi Waktu Layar: Berdasarkan rekomendasi American Academy of Pediatrics, anak usia 6-12 tahun sebaiknya tidak menghabiskan lebih dari 2 jam sehari untuk layar non-edukasi.
Pilih Konten yang Mendorong Aktivitas: Gunakan aplikasi seperti Khan Academy Kids atau LEGO Education yang menggabungkan gamifikasi dan pembelajaran.
Libatkan Diri Anda: Anak-anak cenderung lebih termotivasi ketika mereka menggunakan teknologi bersama orang tua atau pendidik mereka. Hal ini dapat membuat proses belajar menjadi pengalaman sosial yang lebih menyenangkan.
Ciptakan Alternatif Offline: Dorong anak untuk melakukan aktivitas di luar ruangan seperti eksperimen sains, bermain di taman, atau seni kerajinan untuk melatih eksplorasi dan kreativitas mereka.
Generasi Alpha memiliki potensi besar untuk menjadi inovator masa depan. Teknologi bukanlah penghalang, melainkan alat yang dapat digunakan untuk mendukung rasa penasaran dan motivasi mereka jika diarahkan dengan bijak. Dengan memahami teori psikologi motivasi dan pembelajaran sosial, serta menerapkan strategi berbasis bukti, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang kreatif, mandiri, dan penuh semangat belajar.