Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berada di suatu negara di mana seluruh rakyat menggantungkan nasibnya melalui pemilihan umum serta partisipasi aktif dalam kebijakan publik. Sehingga dalam demokrasi, penegak hukum memiliki peran yang sangat penting dalam terjaganya keamanan dan ketertiban masyarakat.Â
Namun, pada kenyataannya, masih banyak ditemukan negara-negara yang dalam pelaksanaannya menggunakan metode penyiksaan sebagai dalih untuk mendapat informasi dari pelaku kejahatan atau tersangka. Tentu saja hal ini menyebabkan terjadinya perdebatan atau pertentangan di berbagai kalangan masyarakat sehingga menimbulkan banyak pertanyaan mengapa dalam demokrasi penegak hukum masih menggunakan penyiksaan.
Perlu dipahami bahwa penyiksaan adalah sebuah tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Penegak hukum yang menggunakan penyiksaan sebagai metode untuk mengulik informasi dari terduga pelaku kejahatan dapat berpotensi menyebabkan terjadinya kerusakan fisik dan kejiwaan pada korban penyiksaan tersebut.
Selain itu, penggunaan penyiksaan dalam penegak hukum tidak dibenarkan karena bisa menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi, di mana seseorang yang tidak bersalah terpaksa mengakui kesalahan yang tidak ia lakukan setelah disiksa karena dituduh sebagai tersangka. Dengan begitu, seharusnya dalam penegakan hukum penggunaan penyiksaan tidak boleh dilakukan dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dilansir dari KOMNASHAM menyebutkan bahwa salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah tindakan penyiksaan.
"Penyiksaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang menimbulkan rasa sakit, baik penderitaan jasmani atau rohani, untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dan dilakukan oleh pejabat publik," terang Amiruddin sebagai Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI dalam Pelatihan Penguatan Penegakan Hukum melalui Pendidikan Hukum Berkelanjutan bagi Organisasi Advokat, Selasa (2/11/2021).
Amir juga merinci konsep mengenai penyiksaan sesuai pada Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Namun, sampai saat ini mengapa masih banyak ditemukan negara yang menggunakan penyiksaan dalam penegakan hukum? Hal itu bisa terjadi oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya dukungan dari kebijakan pemerintah atas hak asasi manusia. Di beberapa negara dalam kebijakan pemerintahannya masih ada yang membatasi hak asasi manusia, seperti hak untuk tidak disiksa dan kebebasan berekspresi. Dengan hal ini aparat penegak hukum merasa bahwa tindakan tidak manusiawi yang dilakukan mereka untuk mendapat informasi dianggap diperbolehkan oleh pemerintahan. Selain itu, terdapat faktor lainnya seperti tekanan yang diberikan oleh masyarakat untuk segera menyelesaikan kasus dengan cepat.
Dalam beberapa kasus, terutama yang mempengaruhi keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat, biasanya masyarakat cenderung mendesak aparat penegak hukum untuk segera menyelesaikan kasusnya dengan cepat. Faktor inilah yang membuat aparat hukum merasa terdorong dan terpaksa menggunakan penyiksaan sebagai metode untuk mendapat informasi yang dibutuhkan. Sehingga penggunaan penyiksaan dalam penegakan hukum masih sering terjadi di beberapa negara.
Padahal pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 28G ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain", jaminan kebebasan dari penyiksaan telah dinyatakan dalam UUD 1945 namun pada pelaksanaannya di negara Republik Indonesia masih ada yang menggunakan penyiksaan sebagai metode kurang manusiawi untuk mengulik sebuah informasi.