Mohon tunggu...
Karina Voni Marita
Karina Voni Marita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Hubungan Internasional di Universitas Teknologi Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Menurut Pandangan Realisme dan Neorealisme

17 Oktober 2023   21:08 Diperbarui: 17 Oktober 2023   21:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Studi Hubungan Internasional adalah sebuah studi mengenai "hubungan internasional". Yang dalam arti sempit, hubungan internasional dimaknai sebagai aksi dan reaksi di antara negara-negara berdaulat yang diwakili oleh para elite atau pemimpin yang berkuasa di negara-negara tersebut. Dalam konteks hubungan internasional dikenal yang namanya perspektif. Perspektif merujuk pada suatu sudut pandang atau pendekatan yang digunakan untuk memahami dan menganalisis dinamika antarnegara dan interaksi global. Ada beberapa perspektif penting dalam hubungan internasional diantaranya, realisme, liberalisme, konstruktivisme, dan marxisme.

Realisme merupakan pendekatan yang paling berpengaruh dalam hubungan internasional, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. Dalam realisme, negara sifatnya self-help, akan selalu selfish untuk memperoleh kepentingan nasionalnya yaitu security dan power. Realisme berasumsi bahwa negara-negara bertindak untuk memaksimalkan power mereka, sehingga mereka dapat mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya dengan lebih baik. Selama fase perkembangannya, realisme telah berkembang menjadi tiga jenis teori realis yaitu, realisme klasik, neorealisme, dan pasca-neorealisme.

1. Realisme Klasik

Asumsi dasar realisme klasik adalah, hubungan internasional merupakan negara-negara yang mengatur negaranya sendiri dan tidak memikirkan negara lain dan bersifat anarki. Realisme klasik menganggap negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional. Teori ini menekankan bahwa negara-negara bertindak secara rasional untuk memperoleh keuntungan dan menjaga keamanan mereka. Dalam realisme klasik juga dikenal sebuah asumsi balance of power, dimana negara mencari keseimbangan kekuatan untuk mencegah dominasi oleh negara atau kelompok negara tertentu. Dengan asumsi perimbangan kekuasaan ini dianggap dapat menciptakan situasi dunia yang damai.

Salah satu fenomena yang terkenal dan dijadikan kajian dasar oleh studi hubungan internasional adalah Perang Dunia I. Perang Dunia I terjadi pada 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918 yang terpusat di Eropa. Perang Dunia I terbagi menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama atau dikenal dengan Aliansi Sekutu beranggotakan Britania Raya (Inggris), Perancis, dan Rusia. Sedangkan kubu lainnya beranggotakan Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia. Perang Dunia I terjadi karena negara-negara yang berkekuatan besar saling bersaing untuk mendominasi negara-negara lainnya.

Ditinjau dari sudut pandang realisme klasik, asumsi dari teori ini yang menjelaskan bahwa negara merupakan aktor utama dan yang paling penting. Hal ini dapat dilihat dari Perang Dunia I yang melibatkan negara-negara di Eropa secara langsung dalam konflik ini. Asumsi selanjutnya adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Hubungan internasional yang sifatnya anarki, dimana tidak ada kekuatan lain yang lebih tinggi untuk mengatur negara-negara, mengakibatkan negara-negara tersebut berusaha melindungi kepentingan dan keamanan nasionalnya dari ancaman ataupun serangan negara lain. Negara-negara yang terlibat dalam peperangan yang berusaha meningkatkan kekuatan dan memperluas wilayah negaranya dapat dikatakan menggambarkan prinsip dari balance of power. Perimbangan kekuatan ini merupakan upaya suatu negara dalam menjaga keseimbangan kekuatannya agar tidak ada negara lain yang menjadi terlalu dominan.

2. Neorealisme 

Kunci utama dari neorealis adalah perilaku dari suatu negara dalam menjamin keamanan (security) negaranya sendiri. Menurut neorealis, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang selfish (mementingkan diri sendiri). Neorealisme dibagi menajdi 2 yaitu, Defensive structural realism dan Offensive structural realism.

  • Defensive structural realism 

Asumsi utama Defensive structural realism adalah jika ada satu negara yang lebih kuat, maka negara lain akan melakukan balancing sehingga dapat memicu konflik/perang. Sistem internasional yang bersifat anarki membuka peluang terjadinya ancaman yang membuat negara-negara merasa tidak aman dan curiga akan serangan atau ancaman yang dapat dilancarkan oleh negara lain. Kondisi ini memicu negara meningkatkan pertahanan dan keamanannya demi menciptakan rasa aman dan mempertahankan posisinya dalam tatanan politik internasional, seperti Tingkok. Tiongkok tidak hanya berfokus dalam meningkatkan ekonomi negaranya, tetapi juga pada pengembangan militer ruang angkasanya yang telah mencapai pengembangan anti-satelit (ASAT).

 Seperti yang diketahui bahwa anti-satelit merupakan senjata untuk mengganggu hingga menghancurkan satelit. Tiongkok meluncurkan senjata Anti-satelit (ASAT) karena merasa terancam oleh meningkatnya dominasi Amerika Serikat di luar angkasa. Adanya kepentingan dari Tiongkok dalam mencapai keamanan nasionalnya, mereka merespon kekuatan Amerika Serikat tersebut dengan melakukan uji coba ASAT untuk menunjukkan kemapanan teknologi Tiongkok. Tiongkok mencoba untuk mem-balance kekuatan Amerika Serikat untuk mencegah dominasi kekuatan Amerika Serikat di ruang angkasa, dengan meningkatkan kapabilitas militer ruang angkasanya. 

Balancing yang dilakukan oleh Tiongkok merupakan bentuk dari adanya perasaan terancam. Atas tindakan tersebut, Amerika Serikat mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok. Dominasi Amerika di ruang angkasa mulai tergoyahkan dengan adanya pengembangan ASAT oleh Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa, dalang lingkungan internasional yang tidak memiliki pemerintahan pusat, ketiks suatu negara meningkatkan kekuatannya, maka negara pesaing akan merasa terancam dan tidak aman. Oleh karena itu, sebagai bentuk dari balancing, negara pesaing akan berusaha untuk meningkatkan kekuatannya sendiri untuk mengembalikan keamanan nasionalnya.

  • Offensive structural realism

Teori ini mengatakan bahwa sistem internasional yang anarki memaksa suatu negara untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi dalam tatanan internasional. Sehingga negara perlu mengeluarkan kekuatan atau powernya semaksimal mungkin. Ekspansi militer adalah kunci bagi suatu negara jika ingin menjamin keamanan dan survivalitas negaranya. Adanya sistem internasional yang anarki dan penuh ketidakpastian akan motif atau rencana dari negara lain, maka cara terbaik bagi suatu negara untuk bertahan adalah dengan terus meningkatkan kapasitas militer yang dimiliki.

Senjata nuklir menjadi salah satu asset yang ingin dimiliki oleh negara-negara besar karena nuklir merupakan senjata pemusnah massal yang sangat berbahaya. Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan contoh dari negara yang tertarik dalam pengembangan kemampuan senjata nuklir tersebut. Sebuah misil yang dimiliki Uni Soviet yang dianggap sebagai peningkatan kapabilitas Uni Soviet dapat mengancam Kawasan Euro-Atlantik. Hal ini membuat NATO menanggapi ancaman tersebut dengan mengadakan sebuah pertemuan untuk membahas strategi yang akan digunakan untuk menangkal ancaman tersebut. Setelah adanya pertemuan ini, dihasilkan sebuah perjanjian Intermediate Range Nuclear Force Treaty (INF Treaty) pada 8 Desember 1987 yang mengatur mengenai penggunaan dan pengembangan sistem peluncur dan misil dengan jarak 500 -- 5500. Perjanjian INF telah menjadi sebuah kerjasama yang sangat penting terhadap keamanan Euro-Atlantik selama bertahun-tahun. Pada 2 Agustus 2019, Amerika Serikat memutuskan untuk keluar dari perjanjian INF. Mundurnya AS dianggap sebagai ancaman serius bagi perdamaian Kawasan Euro-Atlantik.

Dari sudut pandang realisme ofensif, karena sistem dunia yang sifatnya anarki (tidak ada kekuasaan tertinggi selain negara), keluarnya AS dari perjanjian INF membuktikan bahwa negara memiliki posisi yang dominan/paling tinggi dalam sistem internasional. Selain itu, adanya ancaman bagi AS karena pengembangan misil yang dilakukan oleh negara lain dan kecurigaan terhadap kapabillitas militer negara lain. AS beranggapan bahwa jika tetap berada dalam perjanjian INF akan membatasi kepentingannya dalam mengembangkan misil, sehingga sebagai negara yang berperilaku rasional , AS memilih untuk keluar dari perjanjian INF yang tentu didasarkan pada kepentingan AS yang memiliki posisi paling penting diantara pertimbangan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun