Salah satu penyebab utama kegagalan ini adalah lemahnya pertukaran intelijen antarnegara ASEAN. Meskipun kerjasama intelijen telah disepakati dalam ACCT, perbedaan data dan kurangnya transparansi antar lembaga keamanan di negara-negara anggota menyebabkan informasi tentang keberadaan FTF tidak tersampaikan dengan efektif.
Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah FTF yang terlibat dalam konflik Marawi bervariasi antara laporan dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Situasi ini menunjukkan adanya pola kerja yang berbeda-beda antar negara, sehingga tidak ada koordinasi yang terpadu untuk menghadapi ancaman FTF secara bersama-sama.
Negara-negara anggota ASEAN belum membangun mekanisme yang kuat untuk berbagi intelijen terkait pergerakan dan aktivitas FTF. Padahal, kontra-terorisme yang efektif memerlukan pertukaran informasi yang tepat waktu dan akurat, yang selama ini juga sering terhambat oleh keterbatasan kewenangan dan kurangnya kepercayaan di antara negara-negara anggota ASEAN.
Selain itu, pengawasan perbatasan yang lemah di kawasan perairan antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina juga mempermudah masuknya FTF ke Filipina selatan. Meskipun sudah diadakan Trilateral Maritime Patrol antara tiga negara tersebut, kerjasama ini belum cukup efektif untuk mencegah pergerakan FTF dan penyelundupan senjata.
Banyak FTF memanfaatkan jalur laut yang tidak terawasi dengan baik serta dukungan dari jaringan penyelundupan lokal untuk menembus perbatasan. Hal ini semakin memperburuk keamanan di kawasan tersebut.
Aspek pendanaan terorisme juga menjadi perhatian utama. ISIS memberikan dukungan finansial kepada kelompok teroris Abu Sayyaf dan Maute melalui jaringan simpatisan dan sistem pengiriman uang seperti Western Union.
Kegagalan Filipina dalam mendeteksi aliran dana ini mencerminkan kelemahan dalam kebijakan pencegahan pendanaan terorisme. Meskipun Filipina adalah anggota dari Financial Action Task Force (FATF), implementasi kebijakan anti-pendanaan terorisme masih lemah.
Propaganda ISIS melalui media sosial juga berperan penting dalam menarik FTF ke konflik Marawi. ISIS menggunakan platform seperti Telegram untuk menyebarkan pesan-pesan ekstremis dan menyerukan simpatisan untuk berjuang di Filipina jika mereka tidak bisa pergi ke Timur Tengah.
Upaya beberapa negara ASEAN dalam memblokir konten ekstremis di media sosial dianggap terlambat dan kurang terkoordinasi. Blokir yang dilakukan hanya bersifat reaktif dan tidak membentuk mekanisme bersama yang lebih efektif untuk menangkal penyebaran propaganda secara menyeluruh.
Pendekatan bilateral ASEAN dalam konflik ini mencakup kerjasama militer antara negara Filipina dengan negara-negara anggota ASEAN dalam menuntas kelompok terorisme di kota Marawi. Salah satu negara yang turut membantu Filipina adalah Indonesia.
Keterlibatan militer Indonesia (TNI) merupakan sebuah bukti bahwa Indonesia dianggap sebagai aktor kunci regional dalam perang melawan terorisme. Namun, kota Marawi tidak berada dalam kedaulatan Indonesia sehingga hal ini menimbulkan pro dan kontra.