ASEAN atau Association of Southeast Asian Nations adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967. Organisasi ini terdiri dari 11 negara anggota, dengan tujuan untuk mempromosikan kerjasama dan integrasi regional di kawasan Asia Tenggara.
Untuk memenuhi tujuannya, yakni menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara, ASEAN memiliki kerangka kerjasama keamanan terstruktur yang diimplementasikan melalui pendekatan bilateral dan multilateralnya dalam menghadapi isu terorisme. Kerja sama ini mencakup berbagai inisiatif, salah satunya adalah ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) yang dideklarasikan pada tahun 2007.
ACCT adalah sebuah konvensi yang diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN untuk menangani masalah terorisme di kawasan Asia Tenggara. ACCT bertujuan untuk memperkuat kerja sama di antara negara-negara anggota dalam mencegah, memerangi, dan memberantas terorisme.
Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi negara-negara anggota untuk melaksanakan tindakan pencegahan dan penanggulangan terorisme, serta memfasilitasi pertukaran informasi mengenai kasus-kasus terorisme yang terjadi di masing-masing negara. Namun, apakah ACCT efektif dalam mengatasi tindakan terorisme yang terjadi di Asia Tenggara? Oleh karena itu, saya akan menganalisa efektivitas ACCT melalui studi kasus Pertempuran Marawi yang terjadi di Filipina pada tahun 2017.
Pertempuran Marawi merupakan sebuah konflik bersenjata yang berlangsung di kota Marawi, Provinsi Lanao del Sur, Mindanao, Filipina. Konflik ini terjadi sejak 23 Mei hingga 23 Oktober 2017.
Pertempuran ini dipicu ketika kelompok teroris Abu Sayyaf dan Maute, yang berafiliasi dengan ISIS, berusaha mendirikan kekuasaan Islam di kota tersebut. Konflik ini dimulai ketika pasukan militer Filipina melancarkan operasi untuk menangkap Isnilon Hapilon, pemimpin kelompok teroris Abu Sayyaf.
Ketika operasi dimulai, para militan melakukan serangan balik. Mereka mengambil alih beberapa bangunan penting seperti gedung pemerintah, sekolah, rumah sakit, dan lokasi strategis lainnya, bahkan mereka juga menyandera warga sipil.
Konflik ini berlangsung selama lima bulan dan menjadi salah satu pertempuran kota terlama dalam sejarah modern Filipina. Sebagian besar kota mengalami kerusakan besar akibat serangan udara serta pertempuran darat, dan proses pemulihan serta rekonstruksi masih berlangsung hingga beberapa tahun setelahnya.
Dalam pertempuran ini, kedua belah pihak mengalami banyak korban, baik militer, kelompok militan, maupun warga sipil. Pertempuran ini mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas dan menyebabkan sekitar 400.000 penduduk mengungsi dari Marawi dan sekitarnya.
Pertempuran Marawi dianggap sebagai bukti meningkatnya ancaman ekstremisme di Asia Tenggara, yang tidak lagi terbatas pada aksi sporadis, tetapi melibatkan strategi perebutan wilayah. Konflik ini juga memperlihatkan konvergensi antara kelompok teroris lokal dengan jaringan terorisme internasional, seperti ISIS.
Dalam menanggapi konflik Pertempuran Marawi, ASEAN sebagai organisasi yang seharusnya berperan dalam menjaga kedamaian dan stabilitas di wilayah kawasan Asia Tenggara, ternyata gagal mencegah masuknya Foreign Terrorist Fighters (FTF) ke Filipina. Kerjasama kontra-terorisme ASEAN, yang telah diatur dalam kerangka ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) sebagai bagian dari pendekatan multilateral yang dilakukan, tidak mampu menghadapi tantangan ini karena implementasinya dianggap hanya bersifat seremonial dan tidak memiliki langkah-langkah konkrit yang dapat diwujudkan dalam pembagian intelijen dan kerja sama operasional yang dapat ditindaklanjuti di antara negara-negara anggota.