Perkembangan partai politik di Indonesia pada masa sebelumnya, terbagi menjadi periode demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin (orde lama). Perubahan dinamika politik yang ada juga turut mempengaruhi perkembangan partai politik Indonesia yang pada saat itu mengalami fluktuasi dari kebebasan (multipartai) hingga penyusutan akibat tekanan internal yang bermaksud untuk menyederhanakan jumlah partai yang ada (fusi partai). Saat itu, ideologi atau platform partai politik umumnya berpusat pada tiga variabel utama, yakni ketuhanan, kebangsaan, dan marxisme.Â
Memasuki era orde baru, partai ini masuk ke zona merah, meninggalkan dua partai politik murni dan satu Golongan Karya (Golkar). Golkar kemudian berjaya dalam mengukuhkan kekuasaanya sebagai sebuah partai yang bahkan belum secara resmi mengidentifikasi dirinya sebagai partai politik. Hal itu dilakukan untuk menciptakan politik massa yang mengambang (floating mass)Â dan menciptakan jarak yang jauh antara dua partai lain sebagai pesaing.Â
Alhasil, Golkar menguasasi pemerintahan selama kurang lebih 32 tahun dengan dukungan-dukungan yang diterimanya dari pihak birokrasi dan militer. Partai-partai politik pada masa pemerintahan reformasi diperkuat dengan sistem multi-partai pasca runtuhnya pemerintahan baru,Â
namun desain kelembagaan dan pilihan-pilihan alam dalam masyarakat telah melahirkan pilihan-pilihan yang semakin memperkecil peluang tumbuhnya partai dan  kemudian membuat penyusutan terhadap jumlah partai politik yang ada, dari semula pada awal masa reformasi (1999) terdapat 141 partai politik menjadi tersisa 13 partai saja, termasuk dengan partai lokal yang ada di Aceh.
Kemudian, partai politik juga tentunya tak terlepas dari segala problematika yang ada. Permasalahan partai politik di Indonesia sendiri cenderung terbelenggu oleh tiga permasalahan pokok yakni menyusutnya ideologi partai, kerbatasan sumber finasial, serta mandeknya fungsi rekrutmen partai politik.Â
Di tingkat elite, terjadinya generalisasi ideologi partai membuat setiap partai yang ada menjadi sulit dibedakan secara spesifik yang kemudian berdampak pada menurunnya loyalitas ideologi partai bagi para pemilih dan yang tersisa hanyalah basis konstituen pragmatis. Sementara itu, pada level organ partai daerah, ideologi partai justru cenderung menunjukkan penyesuaian dengan kepentingan pragmatis partai politik.Â
Jika mengambil contoh kasus pencalonan kepala daerah, misalnya, partai-partai dapat duduk bersama dengan satu kepentingan yang sama, meski mereka memiliki platform yang berbeda. Selain karena menipisnya sekat-sekat pembeda, faktor lain yang mempengaruhi sikap inkonsistensi partai politik dalam mempertahankan ideologinya ialah akibat keterbatas sumber kekuangan yang memadai.Â
Selama ini partai cenderung hanya mengandalkan subsidi yang mereka terima dari anggota partai yang terpilih sebagai anggota parlemen di pusat dan daerah, bukan kontribusi pengurus dalam jumlah banyak.Â
Dampak dari permasalahan finansial bagi partai politik inilah yang kemudian menjadi akar dari marakanya parktik korupsi yang dilakukan sebagai upaya dalam mengembalikan modal yang telah dikeluarkan oleh partai politik. Masalah pokok ketiga ialah bobroknya sistem rekurutmen parati politik yang ada.Â
Fungsi rekrutmen partai politik bertujuan agar partai politik dapat menjaring kader-kadeer atau individu-individu berkualiatas dalam menyediakan sumber daya pemimpin politik bagi masyarakat nantinya. Namun, kebobrokan sistem yang ada justru membuat sumber daya yang terjaring oleh partai politik menjadi sangat kurang layak untuk 'disajikan' kepada masyarakat dan untuk berkontribusi dalam pemerintahan.Â
Kebobrokan pola rekrutmen ini dipengaruhi oleh faktor kebutuhan sebagai anggota parlemen yang tak dijadikan sebagai sandaran, hal ini membuat partai politik seolah hanya menjadi wadah yang penampungan bagi mereka-mereka yang ingin mengantongi lisensi agar dapat menduduki kursi parlemen, meski sebenarnya mereka tidak memliki kapabilitas dan kompetensi yang cukup sebagai seorang anggota parlemen.