Pentingnya isu-isu tersebut, yang secara langsung memengaruhi keadilan dan hak asasi manusia, tampaknya terpinggirkan oleh sorotan pada isu-isu seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), pelanggaran HAM berat, dugaan intervensi Mahkamah Konstitusi, dan pemberantasan korupsi. Meskipun isu-isu tersebut juga memiliki relevansi, kurangnya fokus pada aspek-aspek krusial di bidang hukum dan HAM menimbulkan keprihatinan akan kedewasaan dan kecermatan dalam menyikapi tantangan-tantangan krusial di tingkat nasional.
Perdebatan antara Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan mengenai IKN menyoroti pentingnya pemikiran kritis terhadap keputusan besar seperti pemindahan ibu kota. Namun, tanggapan Anies yang menekankan kurangnya proses dialog publik komprehensif menunjukkan bahwa partisipasi publik dan transparansi dalam pengambilan keputusan masih menjadi perhatian. Di sisi lain, pertanyaan Ganjar kepada Prabowo mengenai pembentukan pengadilan HAM ad-hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menyoroti ketidakjelasan komitmen terhadap penegakan keadilan di tingkat nasional.
Dalam konteks ini, pernyataan Prabowo yang mengklaim ketegasannya terhadap HAM, namun secara simultan menilai pertanyaan tersebut "tendensius," mencerminkan kompleksitas politik dan ketidakpastian dalam menanggapi isu-isu yang mengguncang masyarakat. Terlepas dari itu, perdebatan presiden menjadi momen penting bagi pemilih untuk mengevaluasi kematangan dan ketegasan calon presiden dalam menghadapi isu-isu krusial yang memerlukan pemecahan yang bijak dan adil.
SALING SINDIR TERKAIT KEBEBASAN DEMOKRASI?
Pernyataan Anies Baswedan tentang penurunan indeks demokrasi dan kebebasan berbicara yang tergerus, bersamaan dengan Prabowo Subianto yang menyoroti minimnya oposisi dalam pemerintahan Jokowi, mengekspos ketidakseimbangan politik dalam panggung demokrasi Indonesia. Anies menekankan bahwa beberapa pasal dalam undang-undang, seperti UU ITE dan Pasal 14-15 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946, telah mengancam kebebasan berbicara dengan memberikan kewenangan yang dapat disalahgunakan terhadap kritikus pemerintah.
Prabowo, sementara itu, mencoba merespon dengan mengingatkan Anies bahwa dia berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada, menyiratkan bahwa keberadaannya di posisi tersebut tidak sesuai dengan narasi bahwa Jokowi adalah seorang diktator. Namun, Anies mengkontrakan dengan menyatakan bahwa Prabowo, sebagai oposisi yang kalah pada Pilpres 2019, akhirnya bergabung dengan pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Saling sindir ini mencerminkan dinamika politik yang rumit dan perubahan aliansi yang terjadi di tingkat elite.
Ganjar Pranowo, tercermin dari tanggapannya, menyadari adanya pertarungan narasi dan menilai bahwa kedua kandidat tersebut seakan sedang menggali kembali janji dan sejarah politik lama. Namun, ia juga menyoroti fakta bahwa pemerintahan Jokowi di era 2019-2024 memang minim oposisi, dengan koalisi pemerintah yang mendominasi kursi parlemen. Hal ini sejalan dengan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menempatkan Indonesia dalam kategori "demokrasi cacat."
Kebebasan berpendapat juga menjadi sorotan, terutama dengan catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mencatat meningkatnya jumlah penangkapan terkait ekspresi di ruang publik. Data ini menggambarkan tantangan nyata terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Sementara ketiga pasangan calon menyatakan normatif mendukung kebebasan berekspresi, pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana komitmen tersebut akan diwujudkan dalam tindakan konkret. Ini menjadi pemikiran krusial bagi pemilih yang ingin melihat perlindungan dan peningkatan kebebasan berbicara sebagai salah satu pilar fondasi demokrasi yang kuat.
PELAYANAN PUBLIK: TIDAK ADA TEROBOSAN BARU?
Jawaban para calon presiden terhadap pertanyaan seputar pelayanan publik yang berkeadilan bagi kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan penyandang disabilitas, menyoroti tantangan dalam mewujudkan sistem pelayanan yang inklusif dan adil. Ganjar Pranowo, salah satu calon presiden, menawarkan pendekatan yang melibatkan kelompok rentan dalam setiap diskusi pembentukan kebijakan publik. Selain itu, ia menekankan pentingnya pembentukan aplikasi sebagai wadah bagi aduan warga terkait pelayanan publik, khususnya bagi kelompok rentan.
Namun, menurut saya bahwa gagasan tersebut belum membawa inovasi yang signifikan. Meskipun ide terkait pusat aduan pelayanan publik sudah ada sejak lama, implementasinya masih menghadapi kendala, terutama terkait fragmentasi dan ketidakinteroperabilitasan berbagai aplikasi pelayanan publik. Isu tersebut mencuat, khususnya terkait data, seperti yang disinggung dalam konteks pelayanan pupuk oleh Prabowo.