Presiden Jokowi menilai gerakan penanaman pohon hanya sebatas aksi seremonial. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan di lapangan yang tidak dilihat oleh presiden.
Kemudian presiden menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Entah itu menteri di kabinet yang lalu atau di kabinetnya sendiri.
Saya rasa presiden harus melihat data dulu sebelum berbicara di hadapan publik. Apalagi kemudian ditulis di media dengan data yang tidak akurat. Presiden seperti melempar bola panas yang sasarannya bisa ke mana saja.
Bukan sekali ini saja presiden memberi pernyataan di media dengan minim data. Apalagi menyoal infrastruktur. Presiden dengan mudahnya mengatakan terbengkalai puluhan atau ratusan tahun. Dari pernyataannya tersebut menyiratkan ia sebagai pahlawan yang mampu membereskan masalah tersebut.
Mari kembali membahas gerakan penanaman pohon. Bulan ini, Desember ditetapkan sebagai bulan menanam nasional. Ini juga merupakan lanjutan dari Hari Menanam Nasional yang jatuh pada tanggal 28 November.
Ketetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden No 24 Tahun 2008 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2008 ketika pertama kali ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimulai dengan pencanangan gerakan menanam seratus juta pohon di Cibinong, Jawa Barat.
Target penanaman pohon kemudian dinaikkan oleh Presiden SBY menjadi satu miliar pohon karena pada gerakan penanaman 2009 terealisasi dengan baik dengan ditanamnya 230 juta pohon.
Keberhasilan seluruh program tersebut kemudian memacu pemerintah untuk meluncurkan program penanaman satu miliar pohon pada 2010 dengan motto "One Billion Indonesian Trees For the World".
Data dari Pusat Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan menunjukkan pada 2010 Indonesia telah berhasil menanam 1,7 miliar batang pohon atau setara dengan 10.675.000 ton CO2. (http://www.beritasatu.com/nasional/19095-menhut-klaim-program-1-miliar-pohon-lewati-target.html)
Nah, melihat data di atas, jika kemudian presiden bertanya mana pohon yang telah ditanam tersebut, mungkin presiden harus lebih teliti dalam melihat.
Lalu ketika presiden bertanya mana pohon yang sudah ditanam, bisa jadi pohon tersebut hilang akibat dari gencarnya pembangunan?
Saya kemudian mengutip artikel dari Gurgur Manurung, Alumnus IPB, yang terbit di Harian Kompas, Juni 2015 lalu. Ada bagian menarik yang patut dicermati. Ia mengatakan ada empat indikator yang menunjukkan Jokowi tidak berpihak pada pembangunan berkelanjutan.
Salah satunya adalah menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan. Keputusan itu menggambarkan bahwa Jokowi tidak berpihak pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Penggabungan keduanya dapat beresiko terhadap konflik lingkungan.
Ketika presiden sendiri tidak melihat pohonnya sekarang, mungkin presiden harus berkaca pada apa yang telah ia perbuat. Jangan kemudian ia mengkritik ke semua arah, akan tetapi yang harus diinstropeksi adalah langkahnya sendiri.
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H