"Kita harus memastikan semua berjalan sempurna," kata Dito dengan nada serius. Rian hanya mengangguk, sementara aku menatap tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan desa. Ada sesuatu yang menggelitik di hatiku, semacam firasat yang tak bisa kujelaskan. Â Â Â Â Â Â
Perkenalkan, namaku Bima. Aku selalu ingat hari itu---17 Agustus, ketika langit cerah berwarna biru, dan semangat kemerdekaan terasa kental di udara.Â
Sebuah desa kecil di pinggir kota, aku bersama teman-temanku, Dito dan Rian, mempersiapkan diri untuk upacara bendera yang sudah menjadi tradisi tahunan. Tahun ini, kami bertiga ditunjuk sebagai pengibar bendera, sebuah kehormatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Â Â Â Â Â Â
"Kamu bawa apa, Bim?" tanya Rian saat kami berhenti sejenak di dekat tiang bendera.
Aku menepuk saku kemejaku, memastikan sesuatu yang penting ada di sana. "Cuma jimat dari nenek. Katanya untuk keberuntungan."
"Jangan aneh-aneh, Bim," tegur Dito, tetapi aku hanya tersenyum.
Pagi itu, suasana di lapangan begitu ramai. Anak-anak berlarian, orang tua bercengkrama, dan para pemuda desa membantu menyiapkan peralatan upacara. Kami mengenakan seragam putih-putih dengan semangat yang menggebu. Saat derap langkah kami menuju tiang bendera, suasana mendadak senyap. Semua mata tertuju pada kami bertiga.
Upacara dimulai. Kami bertiga, dengan langkah yang mantap, berjalan menuju tiang bendera. Dito mengambil posisi di sebelah kiri, aku di tengah, dan Rian di kanan. Perlahan, kami mulai mendekatkan bendera ke tali tiang.
Saat bendera merah putih mulai diikat ke tali, tiba-tiba angin kencang berhembus. Tiang bendera bergoyang, dan seakan-akan bendera itu melambai-lambai lebih keras dari biasanya. Di detik itulah, sesuatu yang aneh terjadi.
Aku merasa ada kekuatan yang menarik bendera itu ke atas, lebih cepat dari yang seharusnya. Rian dan Dito juga tampak kewalahan mengendalikan tali. Di tengah kepanikan, bendera itu tiba-tiba terlepas dari tali dan melayang ke udara.
"Kejar!" teriak Dito. Kami bertiga segera berlari, mencoba meraih bendera yang terbang melayang ditiup angin. Semua orang yang menyaksikan terdiam, tak percaya dengan apa yang terjadi.
Namun, yang paling aneh adalah bendera itu tidak jatuh seperti yang seharusnya. Ia terus melayang tinggi, seperti ditarik oleh tangan tak terlihat. Kami terus berlari, mengikuti arah terbangnya, hingga kami sampai di ujung desa, di tepi hutan yang gelap dan misterius.
"Bim, ada yang aneh dengan ini," bisik Rian, suaranya terdengar gemetar.
Aku mengangguk, merasakan hal yang sama. Bendera itu kini berhenti melayang dan turun perlahan, tepat di depan sebuah gubuk tua yang hampir runtuh.Â
Dengan napas terengah-engah, kami bertiga mendekat.
"Kenapa bendera itu bisa sampai ke sini?" gumam Dito.
Gubuk itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi ketika kami melangkah masuk, suasana di dalam terasa berbeda---seperti ada energi yang tak bisa dijelaskan. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu tua, dengan bendera merah putih tergeletak di atasnya.
"Kita harus bawa ini kembali," kataku mencoba meraih bendera itu. Tetapi ketika tanganku menyentuhnya, tiba-tiba bayangan seorang pria tua muncul di hadapan kami. Dia mengenakan seragam tentara tua, dengan wajah penuh kerut yang tampak lelah, namun matanya memancarkan keteguhan.
"Siapa kamu?" tanya Dito dengan suara gemetar.
Pria tua itu hanya menatap kami dengan tajam. "Aku adalah penjaga terakhir dari janji kemerdekaan ini," katanya dengan suara yang dalam. "Bendera ini adalah simbol dari perjuangan yang belum usai, dari darah yang telah tumpah demi tanah air."
"Apa maksudmu?" tanya Rian dengan wajah melongo.
Pria itu melangkah maju, wajahnya kini lebih jelas terlihat. "Bendera ini dulu kubawa dalam pertempuran terakhir melawan penjajah. Aku adalah satu-satunya yang selamat, dan jiwaku terikat pada bendera ini hingga perjuangan kami dianggap selesai."
Aku merasakan bulu kuduk merinding. "Bukankah kita sudah merdeka?"
"Fisik kita merdeka, jiwa kita belum," jawab pria tua itu. "Selama masih ada yang melupakan makna kemerdekaan sejati, perjuangan ini belum selesai."
Kami bertiga terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Tetapi sebelum kami bisa bertanya lebih jauh, pria itu menghilang begitu saja, seakan-akan dia hanya bayangan dari masa lalu.
Kami mengambil bendera itu dengan perasaan campur aduk. Saat kami melangkah keluar dari gubuk, sinar matahari kembali menyapa, dan angin yang tadinya kencang kini berubah lembut.
Kembali ke lapangan desa, kami disambut dengan keheningan yang aneh. Semua orang masih menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Kami kembali mengibarkan bendera itu, kali ini dengan lebih hati-hati, dan bendera itu pun berkibar dengan megah di puncak tiang.
Setelah upacara selesai, aku, Dito dan Rian berdiri di bawah tiang bendera, menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku, dalam diri kami bertiga. Seakan-akan kami baru saja merasakan dan memahami makna sejati dari kemerdekaan yang selama ini kami rayakan.
Saat kami melangkah pulang, aku membuka saku kemejaku dan menemukan jimat yang kubawa. Tapi kali ini, jimat itu telah berubah bentuk.Â
Di permukaannya, ada ukiran bendera kecil dengan tulisan yang samar tetapi bisa dibaca dengan jelas: "Jangan lupakan perjuangan mereka."
Aku merasakan ada air mata yang menggenang di sudut mataku. Bukan karena takut atau sedih, tetapi karena rasa hormat yang begitu dalam pada mereka yang telah berjuang untuk kemerdekaan ini.Â
Kemerdekaan yang ternyata tidak hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga soal merdeka dari segala bentuk penindasan, termasuk dari diri kita sendiri.
Dan itulah hari yang mana aku, Dito dan Rian belajar bahwa kemerdekaan bukan hanya soal tanggal 17 Agustus. Itu adalah perjuangan yang harus terus dijaga, dihormati dan diteruskan---setiap hari, oleh setiap generasi.
Dengan langkah yang lebih mantap, kami kembali ke rumah, membawa semangat baru dalam hati kami. Di atas langit, bendera merah putih berkibar, tetapi kini aku tahu bahwa yang paling penting bukanlah kibaran bendera itu di tiang, melainkan di dalam hati setiap anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H