Namun, yang paling aneh adalah bendera itu tidak jatuh seperti yang seharusnya. Ia terus melayang tinggi, seperti ditarik oleh tangan tak terlihat. Kami terus berlari, mengikuti arah terbangnya, hingga kami sampai di ujung desa, di tepi hutan yang gelap dan misterius.
"Bim, ada yang aneh dengan ini," bisik Rian, suaranya terdengar gemetar.
Aku mengangguk, merasakan hal yang sama. Bendera itu kini berhenti melayang dan turun perlahan, tepat di depan sebuah gubuk tua yang hampir runtuh.Â
Dengan napas terengah-engah, kami bertiga mendekat.
"Kenapa bendera itu bisa sampai ke sini?" gumam Dito.
Gubuk itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi ketika kami melangkah masuk, suasana di dalam terasa berbeda---seperti ada energi yang tak bisa dijelaskan. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu tua, dengan bendera merah putih tergeletak di atasnya.
"Kita harus bawa ini kembali," kataku mencoba meraih bendera itu. Tetapi ketika tanganku menyentuhnya, tiba-tiba bayangan seorang pria tua muncul di hadapan kami. Dia mengenakan seragam tentara tua, dengan wajah penuh kerut yang tampak lelah, namun matanya memancarkan keteguhan.
"Siapa kamu?" tanya Dito dengan suara gemetar.
Pria tua itu hanya menatap kami dengan tajam. "Aku adalah penjaga terakhir dari janji kemerdekaan ini," katanya dengan suara yang dalam. "Bendera ini adalah simbol dari perjuangan yang belum usai, dari darah yang telah tumpah demi tanah air."
"Apa maksudmu?" tanya Rian dengan wajah melongo.
Pria itu melangkah maju, wajahnya kini lebih jelas terlihat. "Bendera ini dulu kubawa dalam pertempuran terakhir melawan penjajah. Aku adalah satu-satunya yang selamat, dan jiwaku terikat pada bendera ini hingga perjuangan kami dianggap selesai."