Aku merasakan bulu kuduk merinding. "Bukankah kita sudah merdeka?"
"Fisik kita merdeka, jiwa kita belum," jawab pria tua itu. "Selama masih ada yang melupakan makna kemerdekaan sejati, perjuangan ini belum selesai."
Kami bertiga terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Tetapi sebelum kami bisa bertanya lebih jauh, pria itu menghilang begitu saja, seakan-akan dia hanya bayangan dari masa lalu.
Kami mengambil bendera itu dengan perasaan campur aduk. Saat kami melangkah keluar dari gubuk, sinar matahari kembali menyapa, dan angin yang tadinya kencang kini berubah lembut.
Kembali ke lapangan desa, kami disambut dengan keheningan yang aneh. Semua orang masih menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Kami kembali mengibarkan bendera itu, kali ini dengan lebih hati-hati, dan bendera itu pun berkibar dengan megah di puncak tiang.
Setelah upacara selesai, aku, Dito dan Rian berdiri di bawah tiang bendera, menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam diriku, dalam diri kami bertiga. Seakan-akan kami baru saja merasakan dan memahami makna sejati dari kemerdekaan yang selama ini kami rayakan.
Saat kami melangkah pulang, aku membuka saku kemejaku dan menemukan jimat yang kubawa. Tapi kali ini, jimat itu telah berubah bentuk.Â
Di permukaannya, ada ukiran bendera kecil dengan tulisan yang samar tetapi bisa dibaca dengan jelas: "Jangan lupakan perjuangan mereka."
Aku merasakan ada air mata yang menggenang di sudut mataku. Bukan karena takut atau sedih, tetapi karena rasa hormat yang begitu dalam pada mereka yang telah berjuang untuk kemerdekaan ini.Â
Kemerdekaan yang ternyata tidak hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga soal merdeka dari segala bentuk penindasan, termasuk dari diri kita sendiri.
Dan itulah hari yang mana aku, Dito dan Rian belajar bahwa kemerdekaan bukan hanya soal tanggal 17 Agustus. Itu adalah perjuangan yang harus terus dijaga, dihormati dan diteruskan---setiap hari, oleh setiap generasi.