Sementara itu, dalam pembuatan berita di media online maka jurnalisme online juga harus menerapkan etika jurnalistik. Etika jurnalistik sendiri dapat didefinisikan sebagai pedoman yang harus ditaati oleh para media massa, terlebih bagi para jurnalis dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Pedoman ini memiliki fungsi yaitu menjadikan para jurnalis tidak keliru dalam menjalankan tugas mulianya untuk pencarian dan penyampaian pemberitaan yang benar dan terpercaya. Etika jurnalisme sendiri menjadi suatu pedoman bagi para jurnalisn untuk melaksanakan tugasnya di tengah-tengah masyarakat dengan memiliki prinsip yaitu independensi, objektivitas, akurasi, imparsialitas, keseimbangan, dan akuntabilitas kepada publik (Nasution, 2017).
Dilihat dari segi etika jurnalistik, media sosial sendiri sebetulnya tidak disebutkan secara menjurus dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers maupun Pedoman Pemberitaan Media Siber. Apalagi media sosial sering dipandang sebelah mata menjadi media yang mudah sekali menyebarluaskan propaganda dan juga hoaks. Padahal, yang sebenarnya terjadi jika pemanfaatan media sosial dilakukan dengan bijaksana dan bertanggungjawab serta memegang teguh etika jurnalistik, maka justru media sosial ini mampu memberikan inovasi bagaimana perkembangan jurnalisme di masa depan.Â
Penjelasan tentang permasalahan etika jurnalisme ini menerangkan bagaimana etika jurnalisme media sosial yang harus menerima banyak dilematis, terlebih dalam acuan etika media konvensional. Media konvensional harus memegang teguh prinsip-prinsip seperti keseimbangan, akurasi, imparsialitas, verifikasi pra-publikasi, serta gatekeeping informasi. Namun sebaliknya, media online lebih memprioritaskan transparansi, kecepatan, jurnalis non-professional, parsialitas, serta koreksi pasca publikasi. Hal ini tentu akan berdampak kepada professionalitas jurnalisme online.
Terdapat delapan ukuran yang menjadi fungsi penting jurnalisme yang kemudian menjadi kebutuhan konsumen berita saat ini. Adapun kedelapan fungsi yang ada menerangkan tentang ide jurnalisme sebagai layanan dialog. Pertama, otentikator yang membuat pers dibutuhkan oleh masyarakat dalam melakukan pemisahan fakta dan hoaks, kedua adalah sense maker yang melakukan peletakkan informasi kepada konteks dan kemudian melakukan pencarian korelasi sampai kepada pemutusan makna berita itu sendiri, ketiga sebagai investigator public, keempat sebagai witness bearer yang menjadikan pers ini sebagai saksi adanya suatu peristiwa, kelima, sebagai pemberdaya yang menjadikan penempatan publik oleh pers menjadi suatu bagian dari berita dan bukan hanya sekadar audiens belaka, keenam, sebagai aggregator cerdas. Dibutuhkan aggregator yang cerdas dalam melakukan penyisiran website karena memudahkan tugas jurnalis yang memlampaui kapabilitas algoritma computer serta aggregator umum, ketujuh sebagai fasilitator forum yang membantu terjadinya diskusi serta wacana yang melibatkan warga secara aktif, dan yang terakhir sebagai role model, pers era baru harus menjalankan fungsi sebagai panutan bagi warga (Hamna, 2017).
REFERENSI:
Annisa, S. (2019). Studi Netnografi Pada Aksi Beat Plastic Pollution oleh United Nations Environment di Media Sosial Instagram. Jurnal Aspikom, 3(6), 1109-1123.
Danuri, M. (2019). Perkembangan dan Transformasi Teknologi Digital. Jurnal Ilmiah Infokam, 15(2).
Hamna, D. M. (2017). Eksistensi Jurnalisme Di Era Media Sosial. Jurnalisa, 3(1), 111.
Ireton, C., & Posetti, J. (2019). Jurnalisme, Berita Palsu, and Disinformasi: Buku Pegangan untuk Pendidikan dan Pelatihan Jurnalisme. UNESCO Publishing.
Nasution, Z. (2017). Etika Jurnalisme Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahmawan, D., Mahameruaji, J. N., & Janitra, P. A. (2020). Strategi Aktivisme Digital di Indonesia: Aksesibilitas, Visibilitas, Popularitas dan Ekosistem Aktivisme. Jurnal Manajemen Komunikasi, 4(2), 123.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H