MARAKNYA penjual lapak menu buka puasa di pinggir-pinggir jalan, merupakan salah satu hikmah dari bulan suci Ramadan, dimana meningkatnya gairah ekonomi para pelaku usaha kecil menengah baik yang sudah lama berjalan maupun dadakan atau musiman.
Beragam sajian  dijajakan oleh mereka, dari kolak, minuman segar, kue, manisan buah, asinan, pedasan, hingga makanan tradisional ringan khas berbagai daerah.  Dan satu menu utama dan unggulan buka puasa bagi sebagain besar masyarakat kita adalah gorengan.
Sebut saja ada bala-bala (bakwan), gehu ( terigu, toge, tahu), tempe mendoa'an, risoles, kroket, cireng (tepun aci digoreng), pisang goreng, pisang lumer coklat, pisang aroma, comro (panganan dari singkong diisi sambel oncom), misro (panganan dari singkong diisi gula aren), ketan goreng, martabak telor, dan sebagainya.Â
Meski di Ramadan tahun ini dihadapkan kelangkaan dan mahalnya minyak goreng, tak lantas menyurutkan minat masyarakat terhadap gorengan. Bahkan ketika harga gorengan menjadi naik atau ukurannya mengecil pun, masyarakat masih tetap menjadikan gorengan sebagai makanan utama buka puasa. Â
Padahal, seperti kita ketahui bersama dari segi kesehatan makanan gorengan kurang baik bagi tubuh kita, apalagi jika dikonsumsi berlebihan, terutama berimbas pada persoalan kolestrol, tenggorokan, dan pencernaan. Tapi entah kenapa, seolah kita tak bisa melapaskan dari ketagihan makanan tersebut.
Sejak kecil, saya memang suka gorengan, bahkan bisa habis 1 piring sendirian. Favorit saya adalah kroket yang isinya cuma bihun saja tanpa sayuran, dan bala-bala yaitu makanan terbuat terigu dengan campuran sayuran seperti kol dan wortel atau toge, dalam bahasa umum disebut bakwan.
Sebenarnya dari kaca mata orang Sunda, antara bala-bala dengan bakwan itu ada sedikit perbedaan meski bahan dasarnya sama. Bakwan dari segi bentuk cenderung stabil dan tidak berubah yaitu bulat serta diatasnya dikasih udang .
Kalau bala-bala bentuknya bebas tak beraturan, ada yang bulat, lonjong, pipih, dan menggumpal  tanpa ada bahan-bahan lagi selain terigu dengan sayuran. Sementara terigu yang dicampur kacang gajih dengan parutan kelapa dan tanpa sayuran itu dinamakan rarawuan.
Selama Ramadan, keluarga di rumah hampir setiap hari selalu ada gorengan saat berbuka puasa, mungkin karena gurih, enak, relatif murah, dan banyak sehingga ada kesan tersendiri saat makan gorengan bersama keluarga, teman, dan handai taulan.
Namun demikian, belakangan saya sudah mengurangi makanan gorengan, untuk menjaga kesehatan yang sudah sering terganggu, salah satunya karena sering mengkonsumsi makanan gorengan.Â