SUNGAI terbesar dan bersejarah yang berada di Kota Bandung yaitu Cikapundung memang selalu punya cerita terutama yang terkait dengan masa lalu. Salah satunya riwayat adanya  sebuah artefak dan prasasti  peninggalan raja Thailand  yang berkunjung ke Bandung beberapa tahun silam dan bersemedi di Curug Dago Sungai Cikapundung. Â
Daarah Cimaung tepatnya RT. 07 RW.07 Kelurahan Tamansari Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, merupakan tempat saya di lahirkan dan dibesarkan, satu daerah yang lokasinya berada di bantaran sungai Cikapundung. Dinamakan Cimaung  dari kata Air (Ci) dan Harimau (Maung) karena menurut para orang tua zaman dulu bahwa di Cimaung ada goa sebagai sarang harimau.
Terkait  prasasti, sekitar bulan Oktober 2010  sempat dihebohkan dengan diangkatnya kembali oleh beberapa media dan praktisi budaya tentang adanya prasasti dari batu andesit yang berada di area lahan salah satu tetangga saya. Namun karena belum adanya kesepakatan antara pihak terkait dengan keluarga pemilik lahan, sehingga tidak ada kejelasan lagi bagaimana kelanjutannya. Lagi pula sebagian besar masyarakat baik yang di situ maupun yang lain tidak tertarik dengan adanya hal tersebut, bahkan terkesan tidak peduli sama sekali.
Saat itu, saya juga tidak begitu banyak menaruh perhatian terhadap berita tersebut, demikian juga saat kedatangan beberapa wartawan bersama orang-orang entah siapa dan dari mana, tapi saya sempat memotret batu tersebut dan berbincang-bincang dengan salah satu anggota keluarga pemilik lahan. Seiring waktu, pada akhirnya berita itu pun menguap begitu saja .
Karena saya juga sudah tidak tinggal di situ, sehingga saya tidak tahu apakah batu itu sekarang masih ada dan tetap menempel di sana. Saya juga tidak pernah mempertanyakan jika kebetulan berkunjung ke daerah itu. Saya baru "ngeuh" dan ingat karena tanpa sengaja menemukan postingan foto batu prasasti itu di media sosial.
Tulisan pesan moralÂ
Menurut berbagai sumber yang saya dapatkan di media sosial prasasti yang diperkirakan sudah ada di abad ke-4 tersebut bertuliskan aksara Sunda Kuno masa Kerajaan Kendan, terdiri dari 12 huruf " Ung ga I jag a t, jal ma h dha p" artinya unggal jalma di ieu jagat bakal cilaka (setiap manusia di muka bumi akan mengalami sesuatu bencana)
Jika dalam versi sastra Sunda yaitu  JALMA (proses tingkatan hidup menjadi manusia), HDHAP proses daya makro mengendap menjadi hawa-hawa nafsu, UNGGAL proses pengulangan yang kekal adanya kejadian, JAGAT/makromosmos suatu proses unity semua planet mengarah ke sumber HDHAP yang menjadi mikrokosmos.  Intinya tentang pesan buat generasi -- generasi setelahnya bawah hidup harus mawas diri selamanya, teguh dalam pendirian dan tujuan serta keimanan kepada Yang Maha Pemilik langit dan bumi.  Selain tulisan pesan, disebelahnya ada gambar wajah dan dua telapak tangan manusia.
Â
Prasasti ditemukan pertama kali  oleh Oong Rusmana pada tahun 1959, yang mana posisi prasasti tersebut menempel ke akar pohon dan ditembok dekat rumahnya sekarang, posisi permukaan batu yang bertuliskan prasasti menghadap keluar dan tidak di tembok jadi masih terlihat jelas.
Pria lanjut usia yang akrab di sapa Wak Oong menuturkan  saat itu dia tidak berani menyebarkan penemuan tersebut karena masih sebagai pendatang, meski kemudian sudah bertempat tinggal di sana pun dia tidak lantas mengungkapkan penemuan itu, kalau pun sesekali diobrolkan dengan keluarganya hanya ditanggapi biasa-biasa dan bukan hal yang penting, sehingga didiamkan dan diabaikan bertahun-tahun lamanya.
Pada tahun 2006 sempat ada orang yang mengetahui dan menelitinya. Setelah merasa yakin akan kebenaran prasasti tersebut orang itu melaporkannya ke dinas terkait dan pemerintah kota, namun karena tidak ada tanggapan akhirnya menyebarkannya melalui media pada tahun 2010., meski kemudian tak ada penelitian dan tindakan lebih lanjut sampai sekarang hingga semuanya kembali melupakan dan mengabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H