Penundaan program konversi kompor listrik induksi yang belakangan semakin menuai polemik, akhirnya resmi dihentikan pemerintah. Setidaknya sampai tahun 2022 ini berakhir.
Senada dengan pemikiran saya dan rekan-rekan Komisi VII DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirut PT.PLN minggu kemarin (14/09). Program konversi kompor listrik induksi ini perlu dikaji dan tidak bisa begitu saja 'dipaksakan' untuk dijadikan sebuah kebijakan publik.Â
Alasan klasik yang sangat mendasar bagi saya sangat sederhana: bagaimana mengubah perilaku masyarakat Indonesia memerlukan waktu, edukasi, dan periode fase uji coba yang berjangka. Belum lagi penyebaran listrik yang masih belum merata di berbagai provinsi. Oleh karena itu, penundaan program ini dengan cepat dan tepat diantisipasi pemerintah, sebelum nantinya polemik kian membesar.
Alasan dibalik adanya upaya oversupply?
Perlu diketahui masyarakat, isu oversupply muncul dalam benak para anggota Komisi VII DPR RI cukup beralasan. Bagaimana data statistik dibawah ini menunjukkan dalam sembilan tahun terakhir sejak 2013, PT. PLN mengalami proses suplai listrik berlebih (oversupply).  Dimana 'Listrik Yang Terjual ke Pelanggan' tidak seimbang terhadap 'Suplai Listrik yang Diproduksi dan Dibeli PLN'.Â
Ada baiknya ketika suplai berlebihan maka pendistribusian disertai infrastruktur memadai haruslah sinergi. Maka tak akan lagi kita mendengar cerita sulitnya menikmati listrik bagi provinsi-provinsi di luar pulau Jawa.
Mengubah Kebiasaan, penyesuaian, dan ekosistem
Sebagaimana dilontarkan menteri ESDM, bahwa target market program kompor listrik induksi ini diutamakan menyasar kalangan menengah ke atas. Namun pihaknya akan menyalurkan kepada kelompok masyarakat bawah untuk melihat responnya. Situasi belum begitu mereda pasca kenaikan BBM, saya rasa respon masyarakat bawah serupa tapi tak sama.
Penambahan adanya Miniature Circuit Breaker (MCB) khusus agar daya listrik masyarakat tidak perlu dinaikkan menurut saya juga tidak terlalu begitu efektif. Adanya beban instalasi baru akan menjadi persoalan tambahan.
MCB merupakan perangkat untuk memutus rangkaian listrik bilamana ada kelebihan beban dan hubungan singkat. Fungsi utama dari MCB adalah sebagai sistem proteksi dalam instalasi listrik bila terjadi beban lebih dan hubungan singkat arus listrik (short circuit atau korsleting).
Bagaimana dengan 'matematika' di atas kertas? penambahan beban dana kucuran.
Beban sebesar 5 trilun juga harus dialokasikan pemerintah demi program awal 'bagi-bagi kompor listrik induksi'. Jaminan pembagian gratis tidak bisa begitu saja memicu perubahan perilaku masyarakat dalam proses penggunaan kompor sebagai alat masak sehari-hari. Apalagi kompor listrik yang rencananya dibagikan berdaya listrik paling kecil seribu watt. Â
Pertanyaan berikutnya memancing kegetiran hingga protes emak-emak, apakah harga 1,5 juta per satu buah kompor listrik induksi ini sudah termasuk dengan wajan memasak? Persoalan baru pun bertambah, ekosistem kompor listrik induksi dirasa belum memadai dan populer.Â
Walaupun diyakini oleh menteri BUMN masa transisi tidak akan begitu sulit, tapi pernyataannya kontradiktif dengan mbagaimana tidak perlu adanya keharusan pelanggan 950 VA menambah daya demi kompor listrik induksi.
Mengubah kebiasaan masyarakat dalam keseharian mereka memasak sangatlah penting ketimbang sekedar mengucurkan program 'bagi-bagi kompor listrik induksi'. Jangan sekedar 'One hit wonder', euforia pada awalnya dan berlangsung pendek.
Ambil contoh di Nusa Tenggara Timur sana, bagaimana sebanyak 100 ribu kepala keluarga masih 'gelap gulita' hidup di tengah sulitnya listrik. Titik simpulnya, bagaimana ekosistem penyebaran listrik sendiri masih belum merata, tidak menjangkau sepenuhnya masyarakat di seluruh Indonesia. Hal inilah yang saya rasa perlu diselesaikan dahulu sebelum berlanjut bicara konversi kompor listrik induksi.Â
Seringkali kita luput memerhatikan, bahwasanya sesuatu yang menjadi 'kebiasaan' sulit dientaskan dengan hal-hal baru yang secara teoritis itu lebih baik. Segmentasi psikografis masyarakat Indonesia begitu variatif. Saya sepakat untuk dikaji lebih mendalam, sehingga manfaat akan terlihat lebih besar ketimbang mudharat.
Saya sepakat kita memerlukan transisi energi ditengah fase krisis saat ini, saya juga lantang demi penghematan energi, namun semua rencana baik di masa depan memerlukan kehati-hatian, ojo kesusu kalau pak Jokowi bilang. Perlunya transisi kebiasaan, penyesuaian, hingga ekosistem yang saling menunjang adalah keharusan bagi pengelola negara demi masyarakat.
Semoga bermanfaat.Â
-AKK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H