Mohon tunggu...
Hanny Kardinata
Hanny Kardinata Mohon Tunggu... Desainer -

Pendiri situs pengarsipan Desain Grafis Indonesia (dgi.or.id), penulis buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (2016).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengonstruksi Identitas Diri dengan Narasi

9 Juli 2017   15:35 Diperbarui: 10 Juli 2017   08:15 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fragmen Phaedrus dalam gulungan papirus dari abad ke-2 M. Sumber gambar: WikiCommons.

"Annie, Ms. Widmer was right. Remember---about the truth making one free? Annie---I'm free now. I love you, I love you so much!"

Dan bisik Annie di kejauhan: "I love you too, Liza. Oh God, I love you, too!"

Fragmen Phaedrus dalam gulungan papirus dari abad ke-2 M. Sumber gambar: WikiCommons.
Fragmen Phaedrus dalam gulungan papirus dari abad ke-2 M. Sumber gambar: WikiCommons.
Menjadi utuh, sempurna
Sekilas balik ke narasi Liza Winthorp pada Annie on My Mind. Dalam gundah, suatu malam Liza beranjak ke ruang bawah rumahnya, ke rak buku di mana ayahnya menyimpan ensiklopedianya. Liza mencari arti kata 'Homosexuality', tapi hanya harus kecewa karena tak banyak memperoleh apa yang ia alami. Kisahnya:

"Yang paling mengejutkanku, adalah, dalam keseluruhan artikel panjang itu, kata 'cinta' tidak dipakai sekali pun. Itu membuatku gusar; sepertinya siapa pun yang menulis artikel itu tidak tahu bahwa insan gay benar-benar saling mencintai. Penulis ensiklopedia itu harus bepekara kepadaku, pikirku saat aku kembali tidur; aku bisa menceritakan sesuatu tentang cinta."

Suatu hari, terbaring sakit di tempat tidurnya, pikiran Liza menerawang ke masa ia baru masuk sekolah: "Ada legenda Yunani---bukan, itu adalah sesuatu yang ditulis oleh Plato---tentang betapa sesungguhnya sepasang kekasih sejati merupakan dua bagian dari orang yang sama. Dtuturkan bahwa orang-orang berkelana mencari belahan jiwanya, dan ketika mereka menemukannya, demikianlah mereka menjadi utuh dan sempurna. Hal yang membuat aku memahaminya karena legenda itu mengisahkan bahwa pada awalnya semua orang adalah pasangan sejati, terjalin satu sama lain, di mana terkadang merupakan pria dan pria, beberapa di antaranya wanita dengan wanita, dan yang lain pria dengan wanita. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa semua pasangan ini berperang melawan para dewa, dan dewa, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka, memisahkan mereka semua menjadi dua bagian. Itulah sebabnya beberapa pasangan ada yang heteroseksual, dan ada pula yang homoseksual, wanita dan wanita, atau pria dan pria."

Falsafah cinta Plato sebagaimana tertuang di dalam Phaedrus[i] dan Simposium[ii], digambarkan oleh Neel Burton, psikiatris, filosof, dan penulis sejumlah buku, demikian:

Tak seperti Aristoteles yang tak begitu tertarik mempercakapkan ers (cinta erotik) dan lebih menyukai membahas philia(persahabatan), bagi Plato, persahabatan terbaik adalah yang terjalin di antara sepasang kekasih. Itu bagai philia yang lahir dari ers, dan pada gilirannya kembali ke ers demi untuk memperteguh dan mengembangkan pertemanan.

Sebagaimana halnya filsafat, tujuan ers adalah demi melampaui keberadaan manusia, dengan menghubungkannya pada yang abadi (eternal) dan maha besar (infinite). Tidak hanya memperkuat dan mengembangkan persahabatan, philia juga mengubah hasrat memiliki menjadi gairah untuk berbagi, demi memperoleh pengertian yang lebih dalam atas diri, orang lain, dan Alam Semesta. Dengan kata lain, Philia mengubah ers dari nafsu memiliki menjadi impuls pada filosofi.

Plato membedakan jenis cinta yang dapat menumbuhkan philia, dari jenis cinta dasar, ers, yang hanya dinikmati oleh orang-orang yang memberikan cintanya lebih kepada raga daripada ke jiwa. Alih-alih mendukung pencarian kebenaran (filosofi), jenis cinta dasar ini justru menghalanginya.

Walau gagasan ini disenandungkannya baik di dalam PhaedrusmaupunSymposium, namun sementara di Phaedrus Plato menggarisbawahi hubungan cinta kepada yang ilahi, dan karenanya sampai kepada yang abadi dan tak terbatas, di dalam Symposium ia lebih menekankan pada relasinya ke filsafat, penjelajahan kebahagiaan, dan perenungan akan kebenaran.

Seperti banyak orang Yunani lain di era dan pada tataran sosial yang sama, Plato sangat tertarik pada gairah seks sesama jenis, yang bisa timbul di antara pria yang lebih tua dengan yang lebih muda---walau tak beralasan menganggap teori cintanya itu tak berlaku bagi jenis relasi erotik beda jenis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun