Mohon tunggu...
Hanny Kardinata
Hanny Kardinata Mohon Tunggu... Desainer -

Pendiri situs pengarsipan Desain Grafis Indonesia (dgi.or.id), penulis buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (2016).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengarungi Samudra Gender dalam Tradisi Lokal

8 Juli 2017   10:21 Diperbarui: 10 Juli 2017   08:14 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serupa ucap perempuan
Ada suatu masa ketika saya mempunyai seorang teman yang bagi saya, dan teman-teman saya lainnya, terasa ganjil. Ia seorang selebritis di lingkungan seni dan budaya, terutama di kalangan masyarakat kelas atas (crme de la crme). Penampilan sehari-harinya gagah, selalu berjalan tegak menengadah, dengan langkah cukup tegap, tatapannya pun tajam; tetapi saat bercakap-cakap muncullah sesekali gerakan tubuh yang tak sesuai dengan gendernya. Rumor di sekitar kami mengatakan dia gay, tapi saya dan juga beberapa teman lainnya yang dekat dengannya, tak pernah menyinggung hal itu di depannya. Kami seperti sepakat bahwa itu adalah urusan pribadinya, tak seharusnya kami mencampurinya. Kami berpura-pura tak tahu apa-apa, dan segala urusan sehari-hari berjalan baik-baik saja.

Tentu ada saja suatu waktu di mana dia tak ada, kami pun mempergunjingkannya. Melihat sosok teman-temannya yang sejenis, saya pernah merasani, "Kok tampilan mereka rata-rata seperti orang Yunani ya?" Yang sempat ditimpali oleh salah seorang teman, "Itu tidak salah, karena Yunani memang asal muasal homoseksual." Walau pernyataan ini terkesan menyederhanakan dan bisa diperdebatkan, saya tak memperpanjangnya.

Suatu sore, saya diajak oleh teman saya yang gayitu ke rumah salah seorang teman yang juga dikenal sebagai gay untuk suatu urusan bisnis. Itu menjadi saat pertama saya menyaksikan sendiri perubahan dramatis dari seseorang yang sehari-harinya berpenampilan lelaki tiba-tiba berucap serupa perempuan. Saya terkejut melihat teman saya yang beberapa menit sebelumnya masih berbicara dengan nada dan sikap pria, ketika berhadapan dengan sesama jenisnya bisa seperti lunglai dan sontak menjadi gemulai. Untuk sesaat saya tak lagi bisa mengenali teman saya itu. Seperti ada pribadi liyan yang tengah merasuki tubuhnya. Saya sangat syok!

Dan ketika untuk kedua kalinya saya diajak mengunjungi rumah temannya itu lagi, kali ini untuk suatu jamuan makan malam, serta merta saya menolaknya. Saya masih trauma dengan pengalaman yang lalu. Ia bersikeras, bahkan menjemput saya jelang acara dimulai. Saya tetap menolaknya. Pergi dengan setengah kesal dari rumah saya, rupanya ia berhasil mengajak teman lainnya, seorang bul yang berprofesi sebagai desainer lanskap. Keesokan harinya, ketika saya berjumpa dengan teman bul itu, ia menyatakan penyesalannya telah menghadiri acara itu. Ia menyatakan keterkejutan yang sama, dan bercerita betapa ia seperti terisolasi malam itu di kerumunan insan kemayu.

Menebar gulita
Puluhan tahun sesudahnya, pandangan masyarakat pada umumnya terhadap kaum LGBT ini belum juga banyak bergeser. Termasuk pandangan saya, hingga (berkat Robert Wilson)[i] saya boleh menyapa naskah sakral Sureq Galigo (yang dituliskan di abad ke-13--15)[ii], dan mengetahui sedikit mengenai keberadaan bissu[iii].

Kondisi nya terasa fluktuatif , meluas dan menyempit sepanjang jalan. Telah bertumbuh gerakan-gerakan moral mendukungnya, tapi penolakan terhadap eksistensi mereka juga semakin keras. Bahkan dari kalangan pejabat publik tingkat atas. Juga dari organisasi keagamaan, dan berbagai kelompok intoleran. Ada suatu masa di mana masyarakat bisa menerima kehadiran para selebritis laki-laki berpakaian perempuan di panggung komedi atau layar lebar. Tapi juga ada banyak masa-masa yang menunjukkan hal sebaliknya. Dunia kita ini telah begitu kaku mengatur pengelompokan jenis kelamin, ekspresi gender, identitas gender, dan orientasi seksual ke kategori serba biner: pria atau wanita, gay atau straight, dan sulit menerima perbedaan.

Komunitas LGBT bahkan sudah harus mengalami diskriminasi sejak kanak-kanak. Sekolah memiliki sejarah panjang dalam memperkuat persepsi biner tentang jenis kelamin siswanya. Bahkan sebelum anak-anak memasuki sekolah pertama kalinya, orang tua atau walinya diminta untuk mencentang di kotak 'pria atau wanita' pada formulir pendaftaran. Pada hari pertama sekolah, para guru mungkin akan memisahkan anak laki-laki dan perempuan di barisnya masing-masing. Toilet ditandai untuk anak laki-laki dan perempuan. Bayangkan menjadi seorang siswa transgender yang harus mengalami dehidrasi demi menghindari penggunaan kamar kecil untuk anak perempuan sepanjang hari, atau yang putus sekolah gara-gara dibombardir dengan pelecehan verbal atau fisik atas ekspresi orientasi seksualnya. Di mana-mana ada ekspektasi tentang permainan dan pakaian seperti apa yang tepat untuk siapa, tentang siapa yang secara alamiah memiliki sifat kasar dan sebaliknya. Seiring bertambahnya usia, mereka menjadi sasaran harapan atas kegiatan ekstrakurikulernya, gaya berpakaian, bahkan perguruan tinggi dan karier apa yang didorong untuk mereka raih setelah lulus.

Ketidaktahuan, ditambah dengan kurangnya informasi, pada sebagian besar orang bahwa mereka ini varian dari identitas yang default, berlangsung di mana-mana, dengan sangat sedikit pengecualian[iv]. Padahal, individu yang tinggal dengan nyaman di luar ekspektasi dan identitas pria/wanita yang khas, bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Calabai dan calalai di Sulawesi Selatan, two-spirit yang ditemukan di beberapa budaya pribumi Amerika, dan hijra di India, adalah beberapa di antaranya yang mewakili pemahaman gender yang lebih kompleks daripada model biner. Setidaknya tujuh negara termasuk Australia, Bangladesh, Jerman, India, Nepal, Selandia Baru, dan Pakistan mengakui eksistensi gender ketiga pada dokumen legalnya. Seiring orang-orang di seluruh dunia menggunakan beragam istilah untuk mengomunikasikan identitas gender mereka, Facebook kini menawarkan kepada para penggunanya 52 pilihan untuk menentukan jenis kelamin mereka.

Barulah matahari bersinar cerah

"Ia datang malam hari dan tak dapat ditangkap oleh lelaki atau perempuan tulen, hanya oleh waria." ---Puang Matoa Saidi, Bahasa Para Dewa (I La Galigo, 2011)

Sistem biner hanya mengakui adanya dua jenis gender, wanita (woman) dan pria (man); serta dua jenis kelamin biologis, perempuan (female) dan laki-laki (male). Tapi tradisi Bugis mengenal eksistensi lima jenis kelamin, yaitu: oroane (laki-laki); makunrai (perempuan); calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan bissu, perempuan atau laki-laki yang dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis gender itu (no-gender). Dr. Gregory Acciaioli, antropolog Amerika Serikat yang mengajar di Universitas Western Australia, membayangkan sistem gender Bugis ini sebagai piramida, dengan bissu di puncak, dan laki-laki, perempuan, calalai, dan calabai di empat sudut dasar (Graham, 2007).

Naskah Sureq Galigo menunjukkan bahwa munculnya bissu di Bone diawali ketika Raja Luwuq (kerajaan tempat lahir budaya Bugis) diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka kemudian diturunkanlah pula bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Di pundak bissu inilah semua upacara keagamaan, untuk memuja Sang Pencipta, dibebankan. (Masgabah, 2017). Kedatangan bissu pertama ke bumi digambarkan dalam fragmen ini:

Meski matahari tepat di atas kepala,
tak berbayang sinarnya di Barat
tak tampak cahayanya di Timur.
bagaikan dibendung cahaya matahari.
Bumi gelap gulita,
telapak tangan tak tampak,
pun tak terlihat wajah manusia.
Badai datang tanpa henti,
sabung-menyabung bunyi guntur,
sambar-menyambar lidah petir,
meluap-luap nyala kilat dewata.
Diusung badai Puang ri Lae-Lae
yang tinggal di lereng gunung Latimojong.
Diturunkan pula W Salareng dan W Appang Langiq,
Bissu yang dikukuhkan di Leteng Nriuq.
Setelah mendarat Puang Matoa
di lereng gunung Latimojong,
barulah badai dihentikan,
petir dan guntur berbalasan
dipadamkan, pun kilat menyala-nyala.
Barulah matahari bersinar cerah.

---Para Bissu Datang dari Dunia Atas, Cuplikan dari Sureq Galigo (I La Galigo, 2011)


Sosok bissu bisa dibayangkan sebagai insan hermaproditik yang mengandung elemen laki-laki dan perempuan sekaligus. Pakaiannya pun khusus, menonjolkan karakteristik perempuan dan laki-laki bersama-sama. Seorang bissu bisa saja membawa sebilah badi', senjata kaum lelaki, serta menggabungkannya dengan bunga di rambutnya. Tidak hanya kombinasi atribut laki-laki dan perempuan, di dalam dirinya juga harus ada gabungan unsur manusia dan roh. Penting bagi bissu memiliki relasi yang baik dengan dunia roh agar bisa terhubung dengan para dewata dalam memenuhi tugasnya sebagai pendeta. Untuk itu, bissu harus menjadi bagian dari dewa. Agar bisa kerasukan arwah, dan supaya bisa memberikan berkatnya, bissu juga harus menjadi bagian dari manusia. Intinya, bissu adalah laki-laki/perempuan, dewa/manusia, yang bisa kesurupan oleh arwah agar bisa memberikan berkah.

Tanda-tanda menjadi bissu (kondisi terpanggil) ini biasanya sudah terungkap sejak kanak-kanak, terlihat pada bayi yang genitalnya ambigu. Tapi sekadar genitalia yang ambigu belum cukup memastikan seseorang akan menjadi bissu. Selain itu, ambiguitas ini juga tidak selalu tampak; seorang laki-laki normatif yang bisa menjadi bissu diyakini di dalamnya adalah wanita. Pada usia sekitar dua belas tahun, jika seorang anak menunjukkan hubungan yang dekat dengan dunia roh, dia akan dipersiapkan untuk menjadi seorang bissu. Di masa lalu, anak seperti itu akan ditempatkan magang di istana. Pada masa kini, ia akan magang secara individual. Setelah bertahun-tahun mengikuti pelatihan, seorang bissu magang akan menjalani sejumlah tes. Ini termasuk di antaranya, berbaring di atas rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum, atau bergerak. Jika ia bisa bertahan dan terbangun dari trance dalam keadaan fasih berbahasa bissu suci (Basa Bissu atau Bahasa Dewata, bahasa para dewa) dia akan diterima sebagai bissu(Graham, 2002).

2. Pemimpin para pendeta agama kuno pra-Islam yang non-gender (bissu), Puang Matoa Saidi (1958--2011). Sebagai salah seorang bissu terakhir, Saidi dilibatkan sebagai narator utama dalam pentas teater, tari, dan musik I La Galigo,arahan Robert Wilson, yang pergelarannya telah dilangsungkan sejak 2004 di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. Sumber gambar: WikiCommons.
2. Pemimpin para pendeta agama kuno pra-Islam yang non-gender (bissu), Puang Matoa Saidi (1958--2011). Sebagai salah seorang bissu terakhir, Saidi dilibatkan sebagai narator utama dalam pentas teater, tari, dan musik I La Galigo,arahan Robert Wilson, yang pergelarannya telah dilangsungkan sejak 2004 di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. Sumber gambar: WikiCommons.
Sharyn Graham, peneliti dari Universitas Western Australia, memiliki keluasan mengamati penerimaan masyarakat Bugis pada peran dan fungsi bissu, calalai serta calabai dalam berbagai aspek kehidupan. Pada Agustus 1998, bersama sekelompok orang lainnya, ia terlibat dalam sebuah upacara di mana para bissu berlaku sebagai pemimpin upacara (priest). Dalam kesempatan ini, seorang ibu yang akan berziarah ke Mekkah membutuhkan restu dari arwah para leluhur sebelum berangkat. Untuk menghormati roh yang merasukinya, dan memberkati ziarah ibu itu, para bissu mempersembahkan ma'giri. Masing-masing bissu mengeluarkan kris(keris) dan menusukkannya ke tenggorokan mereka. Jika roh yang kuat telah merasukinya, dan dengan demikian berkatnya diberikan, keris tidak akan melukai mereka.

Sementara itu, seorang calalai, yang dari anatominya terlihat perempuan, sering menjalani peran dan fungsi yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Misalnya, seorang calalai bisa dijumpai sedang bekerja bersama-sama para lelaki sebagai pandai besi, membentuk kris, belati kecil, atau pisau lainnya. Ia memakai busana laki-laki, dan mengikatkan sarong (sarung) serta rambutnya dengan cara pria. Seorang calalai boleh jadi dapati tinggal bersama istri dan anak angkat mereka. Sementara ia bekerja dengan laki-laki, berpakaian seperti laki-laki, merokok, dan berjalan sendiri di malam hari, yang merupakan semua hal yang tidak dianjurkan bagi perempuan, calalai adalah perempuan dan karenanya tidak diperlakukan sebagai laki-laki. Ia juga tak ingin menjadi laki-laki. Ia tetaplah calalai. Anatominya yang perempuan, ditambah dengan pekerjaan, perilaku, dan seksualitasnya, memungkinkannya mengidentifikasi, dan diidentifikasi, sebagai calalai.

Calabai sebaliknya, secara anatomis laki-laki, dalam banyak hal mematuhi ekspektasi sebagai perempuan. Namun, calabai tidak menganggap dirinya perempuan, dan tidak dianggap perempuan. Mereka juga tidak ingin menjadi perempuan, baik dengan menerima batasan yang ditetapkan bagi perempuan seperti tidak pergi sendiri di malam hari, atau dengan mendesain ulang tubuh mereka melalui operasi.

Sementara calalai cenderung menyesuaikan diri dengan norma laki-laki, calabai menikmati peran khususnya di masyarakat Bugis. Jika ada pernikahan, calabai akan dilibatkan dalam pengorganisasiannya. Ketika tanggal pernikahan telah disepakati, keluarga akan mendekati calabai dan menegosiasikan rencana pernikahan. Calabai akan bertanggung jawab atas banyak hal, mulai dari menyiapkan dan mendekorasi tenda, mengatur kursi pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria, rias wajah untuk semua yang terlibat, dan makanan yang disajikan. Pada siang hari, beberapa calabai tetap berada di dapur menyiapkan makanan, sementara yang lain menjadi bagian dari resepsi, seperti mengantar tamu ke tempat duduk mereka (Graham 2007).

Sesungguhnya studi mengenai peran dan posisi bissu, calalai, dan calabai dalam masyarakat Bugis berpotensi memberi kontribusi substansial bagi pemahaman tentang bagaimana sebuah komunitas mengatur dan menafsirkan gender. Tak setiap masyarakat memaksakan hanya dua jenis gender, wanita dan pria, yang terikat masing-masing pada dua jenis kelamin biologis, perempuan dan laki-laki. Masyarakat Bugis mengakui adanya empat kategori gender, di samping gender kelima (meta-gender), yaitu kelompok bissu. Kecendekiaan masyarakat Bugis mengajarkan kepada kita mengenai penerimaan dan penghormatan pada hadirnya varian identitas gender di tengah kita. Bahwa mereka sesungguhnya sesama anak Semesta, bagian dari kehidupan yang penuh warna dan semarak di muka Bumi.

"We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light." ---Plato

@ASEANLitFest

---------

[i] Robert Wilson (l. 1941) adalah seorang pentolan teater eksperimental Amerika dan penulis naskah yang oleh media digambarkan sebagai seniman teater avant-garde terdepan dunia. Ia terkenal dengan karya kolaborasinya bersama komponis Philip Glass (l. 1937), Einstein on the Beach. (Wikipedia)

[ii] Sureq Galigo adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis yang terabadikan lewat tradisi lisan dan tulisan. Ia terekam dalam bentuk syair. Disampaikan di dalamnya kisah tentang sejarah, bahasa, dan cerita agung yang terkait dengan mitos. Ia juga merupakan salah satu epos terpanjang dalam sastra dunia. Sedikit saja yang tahu fakta mengejutkan bahwa salah satu warisan agung sastra dunia ini ditemukan di masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Bagi sebagian komunitas Bugis, bahkan hingga kini, kisah-kisah yang disampaikan dan tempat-tempat yang disebutkan di dalamnya sungguh nyata. Kisah itu kisah sejarah. Berkat pertunjukan teater Robert Wilson, I La Galigo yang dipentaskan di Singapura sejak 12 Maret 2004, dan kemudian kebeberapa negara, kini dunia internasional tahu apa sebetulnya Sureg Galigo yang telah nyaris punah itu. Bedanya, pentas I La Galigo adalah pengalaman audio visual dan non-tekstual, sementara Sureq Galigo adalah karya tekstual. (Roger Tol, 2011: 27--33)

[iii] Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianut oleh komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan di Pulau Sulawesi, Indonesia. Golongan Bissu umumnya disebut "di luar batasan gender", suatu "makhluk yang bukan laki-laki atau perempuan", atau sebagai "memiliki peran ritual", di mana mereka "menjadi perantara antara manusia dan dewa". (Wikipedia)

[iv] Prof. Irwanto, PhD, guru besar Fakultas Psikologi, Universitas Atma Jaya, Jakarta, dan peneliti aktif untuk berbagai persoalan stigma dan diskriminasi, menjelaskan fenomena LGBT dengan analogi ikan lele yang banyak jenisnya tapi tidak ada yang persis sama. Menurutnya, ilmu biologi tidak pernah hanya mengidentifikasi dua jenis seks, tapi ada pula jenis ketiga yang hermaproditik, yang merupakan khalayak yang memiliki dua alat kelamin. (Prof. Irwanto, 2016).

Demikian pula halnya dengan organisasi kesehatan dunia WHO, yang telah menyatakan bahwa LGBT bukan fenomena sakit jiwa melainkan varian biasa dari seksualitas manusia. (Jurnal Perempuan, 2015)

---------

Referensi

Sharyn Graham. 2002. Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia. International Institute for Asian Studies, iias.asia (diakses 30 Juni 2017).

Sharyn Graham. 2007. Sulawesi's fifth gender. Inside Indonesia, .insideindonesia.org (diakses 2 Juli 2017).

Puang Matoa Saidi. 2011. Bahasa Para Dewa. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Cuplikan dari Sureq Galigo. 2011. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Gilbert Harmonie. 2011. Pendeta Bissu, antara Mitos dan Kenyataan. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Roger Tol. 2011. Puisi Sureq Galigo. I La Galigo, Change Performing Arts dan Bali Purnati Foundation.

Masgabah. 2017. Eksisten Bissu di Bone dalam Mempertahankan Nilai Budaya Lokal di Kabupaten Bone. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel (diakses 4 Juli 2017).

Prof. Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran. 2016. Suara.com, www.suara.com (diakses 6 Juli 2017).

Keragaman Gender dan Seksualitas. 2015. Jurnal Perempuan, jurnalperempuan.org (diakses 28 Juni 2017).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun