Naskah Sureq Galigo menunjukkan bahwa munculnya bissu di Bone diawali ketika Raja Luwuq (kerajaan tempat lahir budaya Bugis) diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka kemudian diturunkanlah pula bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Di pundak bissu inilah semua upacara keagamaan, untuk memuja Sang Pencipta, dibebankan. (Masgabah, 2017). Kedatangan bissu pertama ke bumi digambarkan dalam fragmen ini:
Meski matahari tepat di atas kepala,
tak berbayang sinarnya di Barat
tak tampak cahayanya di Timur.
bagaikan dibendung cahaya matahari.
Bumi gelap gulita,
telapak tangan tak tampak,
pun tak terlihat wajah manusia.
Badai datang tanpa henti,
sabung-menyabung bunyi guntur,
sambar-menyambar lidah petir,
meluap-luap nyala kilat dewata.
Diusung badai Puang ri Lae-Lae
yang tinggal di lereng gunung Latimojong.
Diturunkan pula W Salareng dan W Appang Langiq,
Bissu yang dikukuhkan di Leteng Nriuq.
Setelah mendarat Puang Matoa
di lereng gunung Latimojong,
barulah badai dihentikan,
petir dan guntur berbalasan
dipadamkan, pun kilat menyala-nyala.
Barulah matahari bersinar cerah.
---Para Bissu Datang dari Dunia Atas, Cuplikan dari Sureq Galigo (I La Galigo, 2011)
Tanda-tanda menjadi bissu (kondisi terpanggil) ini biasanya sudah terungkap sejak kanak-kanak, terlihat pada bayi yang genitalnya ambigu. Tapi sekadar genitalia yang ambigu belum cukup memastikan seseorang akan menjadi bissu. Selain itu, ambiguitas ini juga tidak selalu tampak; seorang laki-laki normatif yang bisa menjadi bissu diyakini di dalamnya adalah wanita. Pada usia sekitar dua belas tahun, jika seorang anak menunjukkan hubungan yang dekat dengan dunia roh, dia akan dipersiapkan untuk menjadi seorang bissu. Di masa lalu, anak seperti itu akan ditempatkan magang di istana. Pada masa kini, ia akan magang secara individual. Setelah bertahun-tahun mengikuti pelatihan, seorang bissu magang akan menjalani sejumlah tes. Ini termasuk di antaranya, berbaring di atas rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum, atau bergerak. Jika ia bisa bertahan dan terbangun dari trance dalam keadaan fasih berbahasa bissu suci (Basa Bissu atau Bahasa Dewata, bahasa para dewa) dia akan diterima sebagai bissu(Graham, 2002).
Sementara itu, seorang calalai, yang dari anatominya terlihat perempuan, sering menjalani peran dan fungsi yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Misalnya, seorang calalai bisa dijumpai sedang bekerja bersama-sama para lelaki sebagai pandai besi, membentuk kris, belati kecil, atau pisau lainnya. Ia memakai busana laki-laki, dan mengikatkan sarong (sarung) serta rambutnya dengan cara pria. Seorang calalai boleh jadi dapati tinggal bersama istri dan anak angkat mereka. Sementara ia bekerja dengan laki-laki, berpakaian seperti laki-laki, merokok, dan berjalan sendiri di malam hari, yang merupakan semua hal yang tidak dianjurkan bagi perempuan, calalai adalah perempuan dan karenanya tidak diperlakukan sebagai laki-laki. Ia juga tak ingin menjadi laki-laki. Ia tetaplah calalai. Anatominya yang perempuan, ditambah dengan pekerjaan, perilaku, dan seksualitasnya, memungkinkannya mengidentifikasi, dan diidentifikasi, sebagai calalai.
Calabai sebaliknya, secara anatomis laki-laki, dalam banyak hal mematuhi ekspektasi sebagai perempuan. Namun, calabai tidak menganggap dirinya perempuan, dan tidak dianggap perempuan. Mereka juga tidak ingin menjadi perempuan, baik dengan menerima batasan yang ditetapkan bagi perempuan seperti tidak pergi sendiri di malam hari, atau dengan mendesain ulang tubuh mereka melalui operasi.
Sementara calalai cenderung menyesuaikan diri dengan norma laki-laki, calabai menikmati peran khususnya di masyarakat Bugis. Jika ada pernikahan, calabai akan dilibatkan dalam pengorganisasiannya. Ketika tanggal pernikahan telah disepakati, keluarga akan mendekati calabai dan menegosiasikan rencana pernikahan. Calabai akan bertanggung jawab atas banyak hal, mulai dari menyiapkan dan mendekorasi tenda, mengatur kursi pengantin, gaun pengantin, kostum untuk pengantin pria, rias wajah untuk semua yang terlibat, dan makanan yang disajikan. Pada siang hari, beberapa calabai tetap berada di dapur menyiapkan makanan, sementara yang lain menjadi bagian dari resepsi, seperti mengantar tamu ke tempat duduk mereka (Graham 2007).
Sesungguhnya studi mengenai peran dan posisi bissu, calalai, dan calabai dalam masyarakat Bugis berpotensi memberi kontribusi substansial bagi pemahaman tentang bagaimana sebuah komunitas mengatur dan menafsirkan gender. Tak setiap masyarakat memaksakan hanya dua jenis gender, wanita dan pria, yang terikat masing-masing pada dua jenis kelamin biologis, perempuan dan laki-laki. Masyarakat Bugis mengakui adanya empat kategori gender, di samping gender kelima (meta-gender), yaitu kelompok bissu. Kecendekiaan masyarakat Bugis mengajarkan kepada kita mengenai penerimaan dan penghormatan pada hadirnya varian identitas gender di tengah kita. Bahwa mereka sesungguhnya sesama anak Semesta, bagian dari kehidupan yang penuh warna dan semarak di muka Bumi.
"We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light." ---Plato
---------