“Karena ayah ingin Jim mempunyai pengalaman mengenal apa itu perbedaan, di samping itu kampung Islam di Karangasem tidak kalah menarik dengan tempat lain, selain keindahan alam Karangasem, ada peninggalan bangunan kerajaan, seperti Taman “Istana Air” Sukasada, Taman Tirtagangga, dan Puri Karangasem yang masih asli terawat hingga kini. Apalagi nanti jika kita lihat bangunan Puri Karangasem yang di kelilingi oleh kampung Islam. Pasti Jim akan mengenal dengan kehidupan masyarakat Islam dan Hindu yang damai dan toleran,” jawab Ayahku.
Sambil bergumam… aku berbisik dalam hati “asyik… aku akan berpetualang keliling ujung timur Pulau Bali yang sejuk dan pantainya yang indah”. Tiba-tiba suara ayah memecahkan lamunanku “habiskan susu dan rotinya..!!" kaget aku mendengar suara ayah.
“Segera berkemas, siapkan barang-barang yang akan dibawa,” kata ayahku menutup pembicaraan.
“Siiiaaapp Ayah!!" kataku sambil hormat pada ayah dan tersenyum.
Aku langsung bergegas menyiapkan barang-barangku untuk perjalanan ke Karangasem. Perjalanan dari tempat tinggalku di Denpasar ke Karangasem ditempuh selama 2 jam dengan kendaraan motor. Melihat pemandangan yang indah, suara deburan pantai selatan di sepanjang kanan jalan, lalu melintasi hamparan sawah yang hijau dan udara dingin dari perbukitan.
Tanpa terasa kami sudah tiba di tujuan. Sesampainya di Puri Karangasem, Bu Gung Dewi sudah berdiri menyambut di gerbang Puri Karangasem yang megah dan dihiasi ukiran khas Bali. Bu Gung Dewi sepertinya sudah dihubungi ayah, bahwa kami akan liburan ke Karangasem dan beliau tampak siap dengan kehadiran kami. Kami langsung diajak jalan-jalan keliling Kota Karangasem dan menuju arah selatan. Kami berhenti di Taman Sukasada yang dulunya kata Bu Gung Dewi adalah Istana Air Puri Karangasem untuk menerima tamu kerajaan.
“Bangunan Taman Sukasada ini bentuknya perpaduan antara model bangunan Belanda (Barat), Islam, Cina, dan Bali yang didirikan kakek saya pada awal abad keduapuluh bersamaan dengan pembangunan Puri. Perpaduan arsitektur itu menunjukkan kakek saya sangat menghormati keberagaman budaya dan agama. Lihat itu Jimbaran, seberang taman ada masjid yang cukup besar, namanya Masjid Ujung Pesisir.” Bu Gung Dewi menjelaskan dengan sabar sambil menunjuk kawasan Taman Sukasada yang berdekatan dengan pantai dan kampung Islam.
Aku tidak banyak bertanya dan hanya mendengarkan Bu Gung Dewi berbicara bersama Ayahku, sementara aku asyik menikmati keindahan Taman Sukasada hingga puas. Setelah mengelilingi Taman Sukasada, Bu Gung Dewi mengantar kami ke tempat wisata lain yang berada di lereng bukit yang letaknya di utara Puri Karangasem. Sepanjang perjalanan aku lihat banyak masjid di pinggir jalan, mengapa pemandangan ini berbeda dengan di Denpasar yang jarang masjid berada di pinggir jalan. Pertanyaan ini urung kutanyakan karena mobil melaju cepat dan sudah berhenti di tujuan, dengan jelas aku baca tulisan di papan nama tempat wisata “Taman Tirtagangga.”
Beberapa langkah dari parkiran kami sudah berada ke pintu masuk, Bu Gung Dewi hanya memberi kode dengan kata “tiyang saking Puri” ke penjaga tiket. Bahasa Bali yang sering aku dengar dan dapatkan di SD artinya “saya dari Puri.” Itu tandanya kami masuk tempat wisata lagi-lagi tidak membayar karena sebagian besar tempat wisata di Karangasem masih milik keluarga Puri Karangasem.
“Jim sekarang kita di “Taman Tirtagangga,” seperti namanya “tirta” bahasa Bali artinya “air” yang sangat melimpah di sini dan dipakai sebagai air bersih untuk kebutuhan rumah tangga oleh masyarakat seluruh Karangasem,” kata Bu Gung Dewi sambil berajalan menuju pusat mata airnya.
“Apakah airnya tidak pernah kering Bu Gung Dewi?” tanyaku iseng saja.