Malam itu, purnama terakhir yang aku lihat di atas langit Pulau Dewata. Hari-hari pamungkas setelah aku lulus SD dan akan melanjutkan SMP ke Kota Pendidikan, Yogyakarta. Sebelum aku pindah ke kota jantung pendidikan, Ayahku memang telah menjanjikan akan mengajakku ke suatu daerah yang indah dan penuh kedamaian.
Alunan adzan Subuh membuatku terbangun untuk segera bergegas ke masjid yang jauhnya hanya selemparan batu. Pagi ini, hari yang kutunggu-tunggu karena janji Ayahku sudah di pelupuk mata. Cahaya matahari yang mengintip dari balik tirai jendela, seolah-olah memberi tanda kepadaku pagi telah tiba. Aku ingin mendengar kabar dari ayah, kemana kami akan mengisi liburan hari ini. Bergegas aku mencari ayah, aroma roti bakar kesukaanku langsung mengarahkan agar aku menuju ke dapur, aku melihat ayah sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kami hari ini, akupun langsung bertanya kepada ayah.
“Ayah… kemana kita akan berlibur?,” tanyaku.
Tapi ayah hanya menjawab “Mandi dulu… setelah itu akan ayah ceritakan,” akupun segera menuruti perintah ayah, karena sudah tidak sabar mendengar cerita ayah kemana kami akan berpetualang mengisi liburan. Setelah rapih, aku cepat-cepat duduk di meja makan untuk sarapan bersama ayah.
“Kemana kita akan berlibur Ayah?," tanyaku tidak sabar.
“Kita akan ke suatu tempat yang indah, tetapi masyarakatnya hidup damai,” sambil tersenyum ayah menjawab.
“Dimana itu Ayah? Masih di sekitar Bali atau kita akan keluar pulau?” tanyaku lagi.
“Kita akan ke ujung timur Pulau Bali. Di sana ada bekas Kerajaan Karangasem yang masyarakat Hindu dan umat Islam hidup harmonis. Nanti kita juga ke Puri (Keraton) Karangasem menemui Bu Gung Dewi teman ayah sewaktu kuliah. Beliau anak Raja Karangasem, nanti Jim bisa tanya-tanya mengenai kerajaan dan kampung Islam di sana,” pejelasan ayahku cukup panjang.
“Apakah di sana banyak masjid Ayah?” tanyaku penasaran.
“Di sana cukup banyak masjid dan semua masjid lama dibangun di atas tanah pemberian Raja Karangasem dan biaya pembangunannya sebagian dibantu oleh keluarga kerajaan. Coba nanti tanya Bu Gung Dewi, apakah benar kata-kata ayah.” kata ayahku.
“Kenapa liburan kita hanya di Bali, mengapa tidak di luar kota?” tanya aku lagi.