Bagaimana jika demikian adanya, Perang Cindia babak baru terjadi dan memaksa negara-negara tetangganya terlibat, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menjalankan politik luar negerinya? Jawabannya adalah "kenetralan aktif" dan "oportunisme yang diperhitungkan". Belajar dari pengalaman Turki pada Perang Dunia II yang berada pada posisi "bersahabat" dengan Jerman dan "bersekutu" dengan Inggris.Â
Selama berlangsungnya Perang Dunia II Turki sukses mengamankan posisinya sebagai negara netral yang tak satu pun tentaranya ada yang meneteskan darah dan tidak ada satu pun pula bom atau peluru yang jatuh di wilayahnya.
Turki juga berhasil menghadang musuh tradisionalnya, Rusia untuk menginvansinya, sekaligus sukses menarik melimpahnya bantuan dari Inggris dan Jerman masuk ke Turki untuk membangun fasilitas negaranya. Baru pada detik-detik menjelang berakhirnya perang, Turki mengumumkan keputusannya "berperang dengan Jerman" yang sangat menguntungkan posisinya di dunia internasional.
Indonesia bisa mengadopsi langkah-langkah Turki pada zaman Perang Dunia II itu dengan tetap "mendekat pada Cina" sekaligus "bersahabat dengan India". Kawasan Indonesia, sebagaimana Turki dulu---bisa digunakan oleh para diplomat India dan Cina untuk hidup bergandeng renteng dan menjalankan kegiatan-kegiatan diplomatik. India dan Cina boleh berperang di kawasan lain (diperbatasan Cina-India), namun di Indonesia mereka berdua harus duduk bersama untuk menikmati kehangatan persahabatannya dengan Indonesia.
Modal Persahabatan Indonesia
Ada tiga modal yang dimiliki oleh Indonesia untuk menjalankan politik luar negerinya jika saja perang Dunia III terjadi dengan melibatkan kekuatan Cina disatu pihak dan India dipihak lain.
Pertama, kebudayaan Cina-India. Cina dan India dianggap sebagai dua bangsa tua yang memiliki banyak kebudayaan dan legenda yang cukup terkenal di dunia. India mempunyai (klaim) legenda Mahabarata dan Ramayana sedangkan Cina mempunyai (klaim) Legenda Ular Putih dan Kera Sakti (perjalanan ke Barat mencari kitab suci).
Di bandingkan bangsa lainnya, di Indonesia legenda dua bangsa ini cukup dekat dan sangat terkenal. Bangsa Indonesia merasa sangat dekat sekali dengan Mahabarata dan Ramayana sekaligus pula dekat dengan Kera sakti dan Ular Putih. (Hampir) Tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal legenda dari kedua negara ini. Bahkan seolah-olah legenda India dan Cina itu menjadi bagian dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Kedua, sikap bawaan masyarakat Indonesia yang moderat, toleransi dan terbuka untuk melakukan inovasi budaya asing yang masuk ke Indonesia menjadi jati diri bangsa Indonesia yang cukup kuat untuk membangun identitas masyarakat Indonesia yang bibrida di era globalisasi. Indonesia bisa menyaring, menfilter dan sekaligus mendeferensiasi aneka budaya bangsa lain yang masuk ke Indonesia menjadi hal yang berbeda, yang bisa menciptakan kebudayaan baru (menyatu) dengan tradisi asli bangsa Indonesia. Â Â Â Â
Sikap bawaan inilah yang membentuk masyarakat muslim Indonesia tidak sama dengan masyarakat muslim di negara lain, yang pada gilirannya membentuk identitas nasional bangsa Indonesia. Agama Islam di Indonesia lebih luwes dan lebih menghargai keragaman serta perbedaan yang dimiliki sekaligus perbedaan yang masuk.
Karena itulah kebudayaan India atau Cina yang masuk ke Indonesia "tidak terlalu India" juga "tidak terlalu Cina". Selalu ada warna-warna Indonesia yang membedakannya dan menjadikannya lebih kaya akan makna yang tersirat. Hal inilah yang memungkinkan perbedaan antara Cina dan India bisa dipersatukan dalam bingkai hubungan persahabatan dengan Indonesia, sehingga memungkinkan untuk menahan terjadinya perseteruan diantara keduanya.