Mohon tunggu...
Moh Syihabuddin
Moh Syihabuddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Pemikiran Islam dan Pemerhati Sosial Budaya

Peminat keilmuan dan gerakan literasi, peduli terhadap permasalahan sosial dan tradisi keislaman masyarakat Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mencegah "Gejolak" Perang Arab Saudi vs Iran di Indonesia

21 Mei 2020   00:54 Diperbarui: 21 Mei 2020   01:08 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENCEGAH "GEJOLAK" PERANG TIMUR TENGAH KE INDONESIA

Di tengah dunia sedang sibuk menghadapi pandemik yang terus menelan korban Kerajaan Arab Saudi melengkapi persenjataan canggihnya untuk melindungi diri. Sebanyak 1.050 rudal, yang terdiri dari 650 rudal jelajah SLAM ER dan 400 rudal antikapal Harpoon Block II telah dibeli dengan nilai transaksi 2 milyar dolar dari perusahaan Amerika Serikat, Boeing (Kompas, 15 Mei 2020).

Selain itu, untuk tetap menjaga stabilitas-kedaulatan pangan dan ekonomi negaranya kerajaan juga melakukan transaksi gadum yang cukup besar dengan Rusia. Sebanyak 121.700 ton gandum dikapalkan menuju ke Arab Saudi oleh perusahaan pemerintah Rusia, SAGO.

Dua transaksi ini nampaknya menunjukkan kuatnya kemitraan strategis yang dibangun oleh Arab Saudi terhadap dua (diantara) kekuatan besar militer dan ekonomi di dunia saat ini. Keduanya memang negara yang sangat berpengaruh di kawasan Arab dan mempunyai tehnologi militer yang sangat canggih. Di satu sisi Arab Saudi menjalin dan memperkuat kerjasama militernya dengan Amerika Serikat dan disisi lain juga menjalin kerjasama ekonomi dengan Rusia.   

Langkah yang ditempuh oleh kerajaan Arab Saudi tidak lain merupakan sebuah "perlindungan diri" terhadap pengaruhnya di kawasan teluk dan sekaligus memperkuat posisinya sebagai salah satu kekuatan besar di dunia Arab. Arab Saudi tetap menjadi rival utama Iran yang terus mengobarkan pertempuran di Suriah, Yaman, dan Iraq dengan beberapa dukungan milisi-milisi bersenjatanya.

Perseteruan Klasik

Sebagai dua negara yang berpengaruh di kawasan teluk Arab, Iran dan Arab Saudi tidak akan pernah menemukan titik nadir perdamaian di antara keduanya. Peperangan yang bergejolak di negara-negara Arab tak lain melibatkan peranan keduanya. Milisi-milisi dukungan Arab Saudi akan tetap berhadapan dengan milisi-milisi dukungan Iran di beberapa negara-negara konflik, mulai dari Yaman, Suriah, Libya, hingga Sudan dan Iraq. Keduanya akan terus mempengaruhi dan menebar pengaruhnya pada negara-negara di sekitarnya.

Perseteruan Iran dan Arab Saudi dipengaruhi oleh dua hal yang melatarbelakangi berdirinya dua negara itu, ideologi kenegaraan dan dan identitas ke-Arab-an (Asshabiyah).

Pertama, ideologi kenegaraan. Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara yang dibentuk oleh konflik klasik politik muslim sejak fitnah pertama pasca khulafaur Rasyidin, yakni sunni vis a vis syi'ah. Perseteruan sunni-syi'ah melahirkan berbagai pertempuran, pertumpahan darah, dan juga konflik antar kerajaan.

Sepanjang sejarah peradaban Islam, alih-alih kekuatan sunni-syi'ah selalu sulit untuk didamaikan, justru menjadi bahan yang paling tepat untuk memupuk perseteruan dan menyebabkan terjadinya pertempuran antar sekte, kerajaan dan milisi-bersenjata. 

Arab Saudi mengklaim sebagai pemimpin muslim sunni sedangkan Iran mengklaim sebagai pemimpin muslim syi'ah (faktanya Iran demikian). Klop sudah, dua kekuatan ideologi keislaman yang terus-menerus berbenturan sepanjang sejarah diwujudkan dalam konteks sistem bernegara.

Kedua, identitas ke-Arab-an. Iran dan Arab Saudi merupakan negara yang sama-sama mengklaim sebagai negara Arab yang asli, dalam arti suku Arab paling beradab, paling cerdas dan paling berbudaya. Arab Saudi sebagai negara Arab di kawasan Jazirah "merasa" yang paling layak untuk menyandang sebagai pelindung agama Islam dan pemimpin dunia Islam, dengan (sedikit) mengesampingkan negara Arab di Suriah, di Afrika Utara dan di Persia.

Begitu juga Iran, "merasa" sebagai negara Arab yang mewarisi tingginya kebudayaan Persia, kekaisaran Sasaniah dan Parthiah. Iran pun menegaskan dirinya sebagai negara besar yang paling layak memimpin dunia Islam. Tidak heran jika kemudian berkobarnya Arab Spring mendorong Iran membentuk bulan sabit syi'ah yang membentang dari Iran, Iraq hingga ke Suriah yang memampukan membuka akses ke laut Mediterania.

(klaim) Identitas kepemimpinan dunia Islam dua negara Arab ini diperkuat dengan penguasaan dan branding "kota suci". Arab Saudi menguasai dua kota suci umat Islam sunni di Hejaz, Mekkah dan Madinah, yang kemudian "disambut" dengan Iran yang menjadikan Qum sebagai kota suci bagi muslim syi'ah serta Karbala di Iraq sebagai kota suci kedua.

Apalagi jika dikaitkan dengan perseteruan lama antara orang Nejed (asal usul wangsa ibnu Saud, penguasa Arab Saudi) dengan orang Persia maka jalannya konflik sektarian-muslim-global ini semakin nampak, semakin menegaskan dan sekaligus semakin memperluas jangkauan psikologis konflik antara Arab Saudi dan Iran di kawasan Asia Barat.

Sehingga menjadi jelas bahwa, pembelian senjata oleh Arab Saudi pada perusahaan Boeing tidak lain merupakan sebuah langkah untuk memupuk perseteruan di antara mereka, sekaligus menekankan hegemoni di antara kedua negara. Apalagi Iran yang tetap konsisten dengan program-program nuklirnya yang tidak bisa dicegah pasca mundurnya AS dari kesepakatan

Mencegah (Perang) Sunni-Syi'ah di Indonesia

Di Indonesia, pengaruh Arab Saudi dan Iran cukup besar. Keduanya merupakan kiblat yang "membina" komunitas muslim sunni-syi'ah di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan konflik Iran-Arab Saudi juga akan berimbas pada kehidupan keberagamaan dan toleransi masyarakat muslim Indonesia.

Konflik kecil-kecilan sudah pernah terjadi di Indonesia, namun pertempuran yang melibatkan kekuatan besar---milisi bersenjata---antara sunni-syi'ah tidak pernah terjadi. Paling-paling hanya pengusiran, kekerasan sepihak, dan perkelahian antar keluarga yang dimanipulasi sebagai konflik agama, seperti di Sampang-Madura.

Sedikit pengalaman yang pernah ada, dekade terakhir ini pertempuran di Suriah, Iraq dan Afghanistan telah menggerakkan para relawan di kedua belah pihak untuk terlibat langsung dalam pertempuran. Hal ini menjadi sebuah rambu-rambu bagi bangsa Indonesia bahwa konflik sunni-syi'ah juga bisa berdampak pada masyarakat muslim di Indonesia untuk melakukan gesekan. Apalagi jika melihat deretan teroris yang beroperasi di Indonesia---mulai dari Bom Bali I-II hingga Bom-bom lainnya---tidak lain merupakan para alumni kombatan dan milisi dari negara-negara konflik di Asia Barat.

Oleh sebab itu, penting mencegah dan menahan konflik-konflik dari negeri Arab itu masuk ke Indonesia agar tidak mempengaruhi opini publik muslim Indonesia. Dengan kata lain, identitas muslim Indonesia yang terbina melalui toleransi, akulturasi budaya, dan khazanah pemikiran khas-nya---yang sudah mengakar sejak pra-kolonialisme---harus dijaga dan dipelihara sebagai modal utama untuk menciptakan sebuah kehidupan bernegara dan beragama, 

Ada tiga hal yang mempertegas upaya itu mendesak untuk dilakukan, pertama, gagasan Asia Pasifik oleh Indonesia untuk kemakmuran kawasan yang melibatkan negara-negara Asia tenggara, India, Australia, Asia Timur dan Amerika Serikat memerlukan stabilitas dan keamanan yang bisa menjamin lancarnya lalu lintas perdagangan. Gagasan ini merupakan sebuah konsep penyatuan yang melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia untuk bersama-sama membangun kemakmuran bagi negara-negara anggotanya.

Kedua, keterpilihan Indonesia sebagai anggota dewan keamanan tidak tetap PBB mengharuskan Indonesia memiliki kemampuan internal-strategis yang kondunsif bagi terwujudnya perdamaian dunia, sehingga akan memberikan pelajaran penting bagi negara-negara konflik untuk belajar tentang perdamaian yang telah digagas oleh Indonesia.    

Ketiga, mengikuti pendapat Kishore Mahbubani, terciptanya ASEAN yang stabil, beragam, toleran, dan terbuka dan terus berkembang keanggotaannya, tak lain telah meminjam tradisi dan kekuatan penyatuan NKRI, musyawarah. Indonesia menjadi kekuatan utama pembentukan penyatuan keragaman yang tersebar luas di kawasan Asia tenggara, mulai dari keragaman etnis, ideologi kenegaraan, bahasa, geografis kepulauan-daratan, hingga keagamaan. Prakstis, Indonesia adalah "pemimpin" bagi terbentuknya ASEAN yang beragam itu dan terus dituntut untuk membinanya.   

Dengan demikian upaya pencegahan masuknya konflik dari negara-negara Arab ke Indonesia merupakan urgenitas yang tak bisa dielakkan, karena konflik yang melibatkan sunni-syi'ah bisa saja menjadi bom waktu yang bisa saja meledak dan merusak peranan Indonesia di dunia Internasional.

Tiga langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menahan masuknya benih-benih konflik syi'ah-sunni ke Indonesia bisa dilakukan dengan tiga hal pula.

Pertama, Warisan khazanah keislaman pondok pesantren Indonesia yang melahirkan nilai-nilai perdamaian dan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia sendiri, menghadirkan masyarakat yang toleran, dan menciptakan beragama pemikiran tentang "peradaban baru" menjadi modal utama bagi pemerintah Indonesia untuk membina masyarakat global tentang penting menjaga stabilitas kawasan.

Dukungan pemerintah terhadap pondok pesantren yang berwawasan ahlussunnah waljama'ah (Nahdlatul Ulama) harus menjadi prioritas utama bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang beradab. Karena masyarakat Indonesia sejak dulu tidak dibentuk oleh lembaga-lembaga warisan kolonial, tapi dibentuk oleh khazanah pemikiran pesantren yang sudah tertanam lama sekali sejak zaman walisongo. 

Apalagi jika dilihat dari catatan perjalanan pesantren Nahdlatul Ulama sendiri yang tidak pernah tergores melawan atau terlibat dalam pemberontakan menghadapi pemerintah negara. Justru dari kampus-kampus negeri elit benih-benih pemberontakan berkedok agama (khilafah, NII, MMI, dll) telah tumbuh sumbur dan mengancam eksistensi NKRI.

Kedua, konsep beragama Nahdlatul Ulama harus menjadi prioritas pemerintah dalam menyusun strategi pengembangan hubungan internasional, membinaan masyarakat muslim, dan penciptaan desain peradaban global. Pemerintah harus kembali menengok pada konsep Nahdlatul Ulama dalam beragama yang terbukti sukses membina keragaman masyarakat dan menjaga nilai-nilai ke-Indonesiaan. 

Konsep beragama Nahdlatul Ulama yang mengakomodasi sistem bermadzhab merupakan kunci bagi terbentuknya sikap-sikap akomodatif, konstruktif, dan akumulatif pada perbedaan. Sistem beragama ini memungkinkan Indonesia bisa menerima segala macam model pemikiran dari luar (luar negeri maupun luar ideologi), yang pada gilirannya---direkayasa secara kreatif---menjadi sebuah gagasan pemikiran yang melekat pada identitas muslim Indonesia. Hal ini pun membentuk ciri khas muslim Indonesia yang tidak sama dengan budaya masyarakat muslim di Arab atau Persia (pusat konflik sunni-syi'ah).

Lahirnya Pancasila merupakan contoh daripada "rekayasa ideologi" yang melibatkan nilai-nilai keislaman dan ideologi global (Nasionalis, liberalis, komunis, dan kapitalis) yang sukses dibentuk oleh Indonesia.  

Dan ketiga, segera melakukan tindakan cepat (quick respon) terhadap komunitas-komunitas yang berpotensi melahirkan gesekan-gesekan di masyarakat, terutama komunitas yang dibentuk dengan ideologi ekstemisme wahabisme dan ektremisme syi'ah. Karena dari keduanya inilah benih-benih teroris terbentuk dan bisa mempengaruhi cara berfikir kalangan remaja yang frustasi dan tak memiliki masa depan.   

Termasuk diantaranya langkah yang paling urgen bagi pemerintah adalah bertindak cepat melakukan penghentian dan pemberhentian langkah-langkah misionaris wahabi berdakwah di pelosok-pelosok negeri ini, baik secara nyata atau secara daring. Mereka harus segera diawasi dan diamankan, dan langkah pemblokiran segera dilakukan secara cepat.

Dengan melakukan tiga langkah ini kemungkinan besar konflik di kawasan teluk Arab-Persia yang melibatkan Arab Saudi dan Iran tidak bisa mempengaruhi psikologi masyarakat muslim Indonesia. Indonesia bisa lebih memposisikan diri sebagai juru damai dan juru "penyelamat" bagi negara-negara yang sedang dilanda konflik.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun