Sebelum berbicara lebih jauh berbicara dalam perspektif Al Qur'an, kita perlu mengawalinya dengan kesepakatan kolektif terlebih dahulu.
Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir peluang kita terjebak dalam kesalahan berfikir dan kesalahan dalam menentukan sikap.
Pertama adalah Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam yang harus di imani, Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk umatnya dan nabi Muhammad SAW merupakan otoritas tertinggi Islam.
Kemudian yang kedua adalah Al-Qur'an sebagai teks (tanda-tanda) kitab suci, senantiasa dapat ditafsirkan & selalu terbuka peluang untuk dikaji & dipikirkan makna ayat-ayatnya sesuai posisinya sebagai "tibyan li kulli syai" (referensi penafsiran segala sesuatu).
Dalam hal ini hendaknya Al-Qur'an juga diposisikan sesuai pada wilayahnya, apakah itu diwilayah yang pertama atau yang kedua. Istilah terbaik yang saya dapatkan hari ini adalah , Al-Qur'an diposisikan sebagai kesadaran keimanan dan kesadaran ilmiah.
Al Qur'an diposisikan dalam kesadaran keimanan ( ) ya harus diyakini sebagai kalamullah yang terjaga keasliannya. Sebagaimana dijelaskan
 Â
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)
Â
 "Dan bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain kepada-Nya." (QS. Al-Kahf : 27).
Di posisi ini kita tidak dibenarkan untuk meragukan keorisinilan Al-Qur'an.
Sedikit berbeda ketika Al-Qur'an diposisikan sebagai kesadaran ilmiah ( ), kita diberikan peluang untuk mengkaji dan memikirkan makna-makna ayatnya.
Hal ini selaras dengan dengan ayat berikut