Mohon tunggu...
Nofrendi Sihaloho
Nofrendi Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Magister Filsafat di Fakultas Filsafat UNIKA Santo Thomas, Sumatera Utara

Hobi saya membaca buku-buku rohani dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Pemilihan Presiden Indonesia 2024

14 Juni 2024   21:07 Diperbarui: 14 Juni 2024   21:07 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kemudian, berikut ini dapat disebutkan beberapa karakter manusia Indonesia, baik itu karakter positif maupun negatif. Sekurang-kurangnya, karakter ini juga yang menjadi karakter para pemilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2024. Orang Indonesia memiliki karakter atau budi pekerti yang baik. Misalnya, orang Jawa memiliki kaidah dasar yang menjadi etika dalam kehidupan sehari-hari, antara lain, prinsip kerukunan dan hormat terhadap orang lain. Kedua prinsip ini menjadi kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret interaksi dalam masyarakat. Prinsip rukun bertujuan untuk mempertahankan masyarakat yang harmonis. Berlaku rukun berarti menghilangkan hal-hal yang dapat menyebabkan perselisihan dan keresahan. Kerukunan terwujud apabila keselarasan yang telah ada tidak diganggu. Prinsip ini juga menyangkut penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Seorang Jawa dikatakan bersifat sopan bila  tidak berterus terang secara serampangan demi menjaga keharmonisan sosial. Selain itu, usaha untuk menjaga kerukunan mendasari kebiasaan musyawarah yaitu proses untuk mengambil keputusan dengan saling berkonsultasi. Dalam musyawarah, semua pendapat dihormati. Di dalamnya setiap orang dituntut juga untuk bersedia merelakan sesuatu. Pihak-pihak yang berlawanan dituntut untuk melepaskan keinginan pribadi yang mungkin menimbulkan keresahan bagi masyarakat.[11]

            Dalam masyarakat Jawa, prinsip hormat berarti setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan status dan kedudukannya. Sikap hormat harus diberikan kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi, dan kepada orang yang berkedudukan lebih rendah harus diberikan sikap kebapaan dan keibuan serta rasa tanggung jawab. Apabila setiap orang menerima kedudukannya dan menaruh sikap hormat, maka tatanan sosial terjamin. Seseorang disapa dengan sebutan yang sopan sesuai dengan derajatnya dalam masyarakat, misalnya, menyapa dengan mengucapkan kata mbah kepada kakek. Karena itu, orang Jawa sejak dini diajari untuk merasa malu (isin) bila tidak menaruh sikap hormat yang tepat kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa orang Jawa berusaha untuk menjaga harmoni atau keselarasan sosial.[12]

Bagi orang Batak Toba, misalnya, segala kegiatan kehidupan dirasa terlaksana dengan baik bila kegiatan sehari-hari khususnya dalam adat sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu.[13] Orang yang memiliki posisi sebagai boru akan menaruh hormat yang tinggi kepada hula-hula, dan menyapa hula-hula dengan sangat sopan, misalnya, dengan mengatakan tulang (paman). Maka, Dalihan Na Tolu menentukan hubungan kekerabatan dalam hidup bermasyarakat. Ibarat tungku yang menjaga keseimbangan, demikian juga Dalihan Na Tolu bertujuan agar tertata keseimbangan dalam kekerabatan dalam budaya Batak Toba. Karena itu, relasi antar manusia dalam masyarakat Batak Toba tidak bisa terlepas dari harmoni ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu, yakni hula-hula (pihak keluarga istri), boru (penerima istri), dan dongan tubu (teman semarga). Orang Batak Toba berusaha untuk menjaga harmoni dalam kehidupan sosialnya.[14]  

Di samping itu, dalam bukunya berjudul Filsafat Nusantara: Sebuah Pemikiran tentang Indonesia, L.A.S. Gunawan menyebutkan beberapa karakter negatif orang Indonesia. Orang Indonesia memiliki sikap munafik. Munafik berarti sikap berpura-pura. Sikap ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar diri untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan atau dipikirkan. Bagi Mochtar Lubis, sikap ini berasal dari sistem feodal yang lama ada di Indonesia. Kaum bangsawan menguasai masyarakat dan menekan rakyat. Sikap munafik tampak dalam sikap orang-orang yang menentang korupsi namun ia sendiri melakukan korupsi. Banyak orang Indonesia berasumsi bahwa hukum yang dilaksanakan di Indonesia sudah adil, tetapi faktanya para koruptor yang menghabiskan banyak uang negara bebas keluar masuk penjara. Demikian halnya kebiasaan menerima uang suap masih marak terjadi.[15]  

            Sikap feodal juga berkembang di kalangan orang Indonesia. Orang yang berada di kalangan atas mengharapkan agar mereka yang berada di bawahnya menaruh sikap hormat, merendah, tahu diri, dan menyenangkan atasan. Hubungan antara penguasa dan rakyat adalah hubungan top down (atas ke bawah) dan satu arah. Koreksi dari bawahan kepada atasan hampir tidak ada, sehingga bawahan merasa takut mengungkapkan ide dan gagasannya. Di samping itu, orang Indonesia juga memiliki sikap tidak bertanggung jawab. Hal ini tampak dalam ketidakmauan mempertanggungjawabkan pikiran dan perbuatan, melempar atau mengelak suatu permasalahan kepada orang lain. Kemudian, orang Indonesia akrab dengan takhayul. Masih ada yang percaya akan kekuatan gaib dari gunung, batu, pohon, danau, roh-roh halus, dan sebagainya. Tanda-tanda alam dipercaya memiliki sifat gaib. Mereka masih mudah percaya akan kekuatan supranatural yang memberikan perlindungan dan keselamatan.[16]  

            Dapat dikatakan bahwa kepribadian dan karakter orang Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas menjadi kepribadian dan karakter pemilih dalam pemilihan presiden 2024. Mereka yang mendapat hak untuk memilih umumnya memiliki latar belakang budaya kaum peramu, petani ladang dan sawah, dan kaum pesisir. Lewat pemilihan ini, diharapkan agar presiden dan wakil presiden terpilih memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan mereka. Sekurang-kurangnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan dapat terpenuhi. Maka, isu ketenagakerjaan merupakan isu yang paling diharapkan oleh rakyat terhadap presiden terpilih, karena penyediaan lapangan kerja masih menjadi problem yang mendapat perhatian utama. Angka pengangguran masih tergolong tinggi di Indonesia yakni 7,86 juta orang per Agustus 2023.[17]

Sejatinya, orang Indonesia menjunjung tinggi nilai etika dan saling menghormati dalam segala segi kehidupan, seperti dalam budaya Jawa yang menghayati sopan santun yang tinggi. Kendatipun memiliki karakter negatif seperti berpura-pura (munafik), bersifat feodal, dan akrab dengan takhayul seperti yang diungkapkan sebelumnya, sebenarnya orang Indonesia tetap pada cita-cita luhur dari kemanusiawiannya yakni mau menjaga harmoni dalam relasi dengan Tuhan, alam, maupun  harmoni dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Sekalipun sikap negatif itu barangkali ada dalam diri sebagian pemilih dalam pemilihan presiden, tetapi hal itu tidak membuat situasi menjadi kaos. Fenomena pemilihan presiden 2024 yang penuh catatan, baik karena diduga ada pelanggaran etis (dengan lolosnya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden), dugaan adanya bantuan sosial saat kampanye, dugaan adanya ketidaknetralan aparatur negara dalam proses pemilu, kejanggalan dalam prosedur penyelenggaraan pemilu, pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang menguntungkan Prabowo-Gibran, dan keputusan sidang sengketa pemilihan presiden oleh Mahkamah Konstitusi yang mengabsahkan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, semuanya itu sama sekali tidak menghancurkan harmoni dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, dari semua fenomena pemilihan presiden ini bangsa Indonesia harus belajar untuk menjadi bangsa yang dewasa sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sejak lama telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. 

 

Kekuasaan dan Moral  

            Era sebelum kemerdekaan, daerah-daerah di Indonesia menganut sistem kerajaan. Seluruh Indonesia memiliki pola dasar kebudayaan yang sama, termasuk sistem kerajaan ini. Hanya saja, yang berbeda adalah adanya spesifikasi lanjut dari pola dasar itu sesuai dengan  geografisnya.[18] Secara khusus di daerah Jawa, raja dianggap memiliki kesaktian atau kekuatan gaib yang mempunyai akibat terhadap kehidupan masyarakat. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari raja.[19] Untuk itu, Franz Magnis-Suseno mengemukakan paham orang Jawa tentang kekuasaan:

"Kekuasaan merupakan realitas adikodrati yang memberikan serta menentukan dirinya sendiri, di mana orang yang memilikinya hanya merupakan wadah yang menampung kekuasaan, tetapi tidak menentukannya. Kekuasaan berdaulat pada dirinya sendiri, perebutan dan pemakaiannya tidak berada dalam tanggung jawab individu yang menampungnya [...] pamrih raja mengurangi kemampuannya untuk menampung kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Tetapi sebagai kekuatan kosmis, kekuasaan tetap menentukan dirinya sendiri".[20] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun