Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instik, intuisi, dan intelegerasi—ditambah petunjuk wahyu bagi orang yang beragama—bekerja secara matang dan integral. Artinya, superego bisa memberi pembenaran pada ego manakala ego bekerja pada rah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
Apabila dibandingkan dengan mahluk tuhan yang lain, manusialah satu-satunya unsur yang dapat disebut sebagai mahluk yang kualitataif, atau mahluk yang dapat membina dirinya secara moral. Malaikat yang tanpa subtansi instinsik (nafsu) dan free dari perbuatan dosa, tidak dapat turun kualitas moralnya ke kualitas manusia dan binatang.
Demikian dengan binatang yang tanpa subtansi intelegrasi (akal), tidak mungkin kualitas dirinya naik menjadi manusia atau malaikat. Begitu juga Malikat yang oleh Allah dikarunia instink, tanpa nafsu.
Jadi manusia, seperti apa yang telah disebutkan di atas, kulitasnya bisa lebih tinggi dari pada Malikat, seperti halnya Nabi Mumuhammad ketika malikat Jibril tidak mampu mengantarkan Nabi Muhammad ke Sidratulmuntaha. Sebaliknya, kulitas manusia bisa turun lebih rendah dari pada binatang, kalau manusia itu sendiri lalai menguasainya dirinya sendiri.
Hal demikian seperti halnya manusia yang mempunyai hati tetapi hatinya tidak dipergunakan secara sebaik mungkin. Jadi secara kesimpulan, manusia adalah tergantung atara nurani dan naluri yang mengontrolnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H