Mohon tunggu...
kanzul Fikri
kanzul Fikri Mohon Tunggu... -

Sedang menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sketsa Manusia

5 Desember 2015   18:52 Diperbarui: 5 Desember 2015   19:11 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai manusia yang sangat komplek dan fleksibel seperti halnya yang diungkapkan oleh B. F Skinner (tokoh Psikologi pemuka behavioristik), penulis ingin mengajak pembaca mengkaji tentang manusia, sepertia apa itu manusia. di sini penulis akan melakukan dua pendekatan tentang bagai mana manusia itu sendiri. Pertama secara Quran, kedua melalui Psikologi.

Sebagai mana diketahui bahwa, dalam Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah untuk penyebutan terhadap manusia itu sendiri yang satu sama lain saling berhubungan, yakin Al-insan (Al-Sajdah. 7), Al-basyar (Al Rum. 20), dan Bani Ada (Qs Al-Isra. 70).

Manusia disebut insan, karena dia sering berada di posisi pelupa sehingga diperlukan teguran dan perintah. Manusia disebut al-basyar, karena dia cendrung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan damaikan. Manusia di sebut sebagai Bani Adam, karena dia menujukan pada asal usul manusia yang bermula dari Nabi Adam, sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal-usul, untuk apa dia hidup, dan harus ke mana dia kembali.

Penggunan istilah Bani Adam menunjukan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil dari evaluasi dari mahluk anthropus (sejenis kera) seperti yang dikemukan oleh para tokoh evolusi, J. B De Lamarck (1774-1829 M), charles Darwin (1809-1882 M), dan Alfred Russel Wilance (1823-1913 M).

Manusia dalam pandangan Quran bukanlah mahluk anthropomorfisme, yaitu berupa penjasatan Tuhan. Atau mengubah tuhan menjadi manusai. Quran menggmbarkan manusia sebagai mahluk theoformis yang memiliki sesuatu yang agung dalam dirinya.

Di samping itu, mausia dianugrahkan akal yang memuminkinkan mebedakan antara nilai-nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada suatu kualitas tertinggi sebagai manusia takwa. Hal ini juga sering disebutkan dalam bergai pendapat ulamak terdahulu, kualitas manusia bisa lebih baik dari pada Malikat dan bisa lebih buruk atau terdegradasi di bawah binatang.

Quran memandang manusia sebagai fitrahnya yang suci dan mulia, bahkan bukan yang penuh kotor dan dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam dan istrinya (Hawa) sebagai cikal bakal manusia, di mana melakukan larangan Tuhan, dan mengakibatkan  mereka di keluarkan dari Surga.

Dengan ini tidak bisa di jadikan argumen bahwa manusi pada hakikatnya adalah pembawa dosa, seperti yang diungkapkan oleh kalangan orang yang beragama Kristen tentang asal, dan alasan kenapa Yesus di Salib untuk menebus dosa bawaan manusia, yang merujuk pada pembengkangan Adam dan Istrinya di surga.

Quran justru memuliakan manusia sebagai mahluk Surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual menuju alam yang dijanjikan yaitu Akhirat, meskipun dia harus melewati berbagi rintangan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam dunia ini.    

Karena itu, kualitas, dan kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada mahluk di mika bumi ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Namu, di balik yang sebutkan diatas manusia juga mempunyai sisi buruk, salah, dan jelek, serta menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia muttaqin.

Gambaran Quran tentang kualitas dan hakikat manusia mengigatkan penulis pada teori superego dan ego yang dikemukakan oleh tokoh Psikologi Analisa yaitu Sigmud Freud, ia sering dijadikan kutipan oleh cendekiawan muslim tentang kualitas manusia. menurut Freud superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libio bitalis) sehingga penyaluran dorongan ego ­– atau nafsu lawwamah (nafsu buruk)—sebenarnya tidak mudah menenpuh jalan melalui  superego atau nafsu yang baik (muthma’innah). Karena superego (nafsu muthma’innah)berfugsi sebagai badan sensor atau pengedali ego manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun