Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mochtar Kusumaatmadja: Hukum Perang

18 Februari 2022   07:00 Diperbarui: 18 Februari 2022   07:07 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Ius ad bellum dan Ius in bello. Ius ad bellum yakni hukum yang mengatur bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata, sedangkan Ius in bello merupakan hukum yang berlaku dalam perang dengan dua rincian yaitu pertama, hukum yang mengatur tata cara perang (conduct of war) atau lazimnya disebut The Hague Laws. Kedua, hukum yang mengatur perlindungan korban perang atau dikenal dengan The Geneva Laws.

Keduanya, Ius ad bellum dan Ius in bello bersama-sama saling berkaitan dan saling menopang satu dengan lain serta menyesuaikan dengan hukum humaniter internasional. Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) banyak digunakan sebagai pengganti hukum perang (law of war) dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan dua protokol tambahan.

Dalam perang korban jiwa merupakan hal yang lazim dalam pertempuran. Tujuan utama hukum humaniter adalah memberi perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita/menjadi korban perang, baik secara nyata/aktif turut dalam pertempuran (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (civilian population).

Hukum Humaniter mengandung asas-asas pokok yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas ksatriaan (chivalry). Kunz mengatakan bahwa "laws of war, to be accepted and to be applied in practice, must stri ke the connect balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military interest." pertama, asas kepentingan militer. Hak para pihak yang berperang menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan lawan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan korban sekecil-kecilnya. Kedua, asas kemausiaan.

Pelarangan penggunaan kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan menjadi tawanan perang tidak lagi merupakan ancaman sehingga mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pada penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang. Ketiga, asas ksatriaan.

Dalam peperangan, kejujuran lebih diutamakan. Penggunaan alat-alat ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat sangat-sangat dilarang. Asas kesatriaan hampir tergambar pada setiap ketentuan hukum humaniter sebagaimana Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III, ditentukan bahwa peperangan tidak dapat dimulai tanpa peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya atau ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).

Prinsip utama dalam penggunaan senjata adalah dalam perang nilai-nilai kemanusiaan tetap harus dihormati. Tujuannya untuk membatasi penggunaan senjata dalam menggunakan hak berperang dan mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan serta tidak sesuai dengan tujuan militer. Dari tujuan ini, hukum humaniter mengatur dua hal pokok yaitu memberikan alasan bahwa perang dapat dijustifikasi yakni perang adalah pilihan terakhir (the last resort), sebab atau alasan yang benar (just cause), dan didasarkan atas mandat politik/keputusan politik yang demokratis dan untuk tujuan yang relatif benar (right intention); Membatasi penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi (proportionality and discrimination). Dua hal ini menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility) yang meyakini bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan hukum konflik bersenjata.

Pertama, prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah prinsip yang membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan merupakan golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam peperangan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan. Prinsip pembedaan dilakukan untuk mengetahui siapa yang boleh dijadikan sasaran/obyek kekerasan dan siapa yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan.

Dalam perkembangannya prinsip pembedaan memerlukan penjabaran lebih jauh sebagai asas pelaksanaan (principles of application) yakni pihak-pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil; penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal pembalasan (reprisals); tindakan maupun ancaman kekerasan dilarang menyebarkan teror terhadap penduduk sipil; pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau menekan kerugian/kerusakan; hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

Prinsip pembedaan juga membedakan objek-objek menjadi dua kategori yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan. Sebaliknya, jika objek termasuk kategori sasaran militer, maka objek dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum humaniter. Konvensi Jenewa 1949  terdiri dari empat buah konvensi yaitu : Konvensi Jenewa I tentang perbaikan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.

Konvensi I diratifikasi pada tahun 1864 oleh 12 negara yang terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi prajurit yang cedera dan sakit di medan perang dengan ketetapan bahwa prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat tanpa memperdulikan kebangsaannya, petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang dipergunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral, lambang palang merah diatas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun