Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Karamya Kapal KPK: Kontroversi

12 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 12 Juni 2021   07:01 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Studi terkini mengenai kepercayaan publik terhadap KPK pada periode 5 tahun terakhir yang dilakukan oleh Corruption Perception Index (CPI)  dengan posisi 102 dari 180 negara menunjukkan bahwa tahun 2020 merupakan tahun dengan performa terburuk sepanjang sepak terjang KPK memproses laporan dari masyarakat yang mengindikasikan tindak korupsi. Ditambah rendahnya kepercayaan publik terhadap kehadiran KPK saat ini yang berada dibawah sejumlah lembaga lain. 

Hal ini tidak terlepas dari kontroversi atas pemilihan Komisari Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2020 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan pembahasan Rancangan Kitab Undang -- Undang Hukum Pidana yang terkesan terburu-buru  oleh DPR mengenai delik korupsi pasal 603 sampai pasal 607. Meskipun telah diberlakukan secara resmi. 

Revisi UU KPK masih menjadi polemik baik di kalangan elit politik dan lembaga masyarakat antikorupsi. Isu pelemahan kpk dimulai dari sidang paripurna yang "hanya" berlangsung sekitar 20 menit, DPR menyepakati usulan revisi UU 20 tahun 2002 tentang komisi pemberantas korupsi (KPK), dalam dokumen RUU itu yang setebal 28 halaman itu banyak sekali pasal ranjau yang berpotensi melemahkan dan mengamputasi wewenang KPK dalam bertindak. 

Dalam revisi tersebut setidaknya ada 4 pokok yang berpotensi melemahkan dan mengaputasi kewenangan KPK. Pertama, berdasar RUU ini, pegiat KPK akan berubah status menjadi pegawai ASN yang kinerjanya akan berada di bawah perintah eksekutif (Pasal 1). Dengan kata lain KPK akan menjadi subkordinat yang selalu diawasi oleh petinggi negara seperti eksekutif dan legeslatif. Kedua dalam RUU ini KPK diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang dibentuk oleh DPR dan Presiden (Pasal 6, 10, 11, 37, dan 69).

Dewan pengawas ini harus mengeluarkan izin tertulis saat KPK akan melakukan penyadapan, dan apabila izin tidak dikeluarkan selama 2 x 24 jam, maka penyadapan itu harus dibatalkan (Pasal 12). 

Dengan kata lain, kewenangan penyadapan itu hanya akan jadi masa lalu. Ketiga, KPK harus bekerja sama dengan mitra institusi peradilan lain yaitu kepolisian dan kejaksaan (Pasal 43 dan 45) dalam melakukan penyidikan kasus korupsi. Yang kita pertanyakan bahwa awal dibentuknya lembaga KPK adalah karena kita tidak lagi percaya pada sistem peradilan yang ada? Dan yang keempat KPK berwenang menghentikan penyidikan perkara korupsi yang tidak selesai proses penyidikan dan penuntutannya selama paling lama satu tahun (Pasal 40). Tidak kah kita lihat bahwa tindakan ini benar-benar pengelabuan terhadap KPK yang selama ini bertarung melawan korupsi yang ada? Banyak kasus-kasus yang masih belum terungkap seperti BLBI, Century dll. Dan isi dari revisi itu menunjukan bahwa setiap pasal itu beragumen untuk melemahkan dan mengamputasi KPK bahkan seolah olah ingin mengilangkan pemberantasan korupsi yang ada. Padahal kita ketahui bahwa IPK indonesia menunjukan anka yang masih sangat rendah, yakni dengan 3,8 pada 2018. 

Mari kita renungi bersama jika kita memaknai demokrasi sebagai kewenangan tertinggi untuk menjalankan pemerintahan dengan mandat dan semboyan sebesar itu, maka KPK adalah salah satu hal yang berperan penting dalam menjalankan mandat tersebut, yang selalu berdiri independen dan tidak pandang bulu dalam meringkas korupsi yang ada. 

Isu terkini yang menjadi pusat perhatian pegiat antikorupsi, organisasi masyarakat dan akademisi adalah kontroversi atas  Isu terkini yang menjadi pusat perhatian pegiat antikorupsi, organisasi masyarakat dan akademisi adalah kontroversi atas ketidaklulusan 75 pegawai KPK pada Tes Wawasan Kebangsaan  (TWK) yang diduga kuat mengandung isu seksis dan misoginis sebagai bagian dari upaya mengusir paksa pegawai yang kompeten yang sampai saat ini sedang menangani kasus-kasus kakap seperti kasus Setya Novanto, OTT KPU, bansos Covid-19, OTT Menteri KKP, OTT Bupati Cimahi dan Nganjuk, Gubernur Sulawesi Selatan hingga buronan Harun Masiku. Mantan Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa para penyidik yang tengah mendalami kasus-kasus besar saat ini menghadapi ancaman serius dimana pengadaan TWK adalah upaya nyata yang secara sistematik dilakukan guna menghalangi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK dalam menangani kasus kakap saat ini. 

Nyata pegawai senior KPK Sujanarko Direktur PJKAKI KPK sejak 2004 yang pada tahun 2015 menerima penghargaan Satyalencana Wira Karya atas dharma bakti nya pada dunia antikorupsi justru termasuk dalam 75 pegawai KPK yang dianggap tidak memiliki wawasan kebangsaan. 

Padahal pengharagaan ini jelas tujuannya sebagai apresiasi atas usaha yang bersangkutan yang telah berhasil membangun jaringan nasional dan internasional untuk pemberantasan korupsi. Hal demikian ini juga dibenarkan oleh Syamsyuddin Haris, anggota Dewan Pengawas KPK yang menyatakan bahwa TWK bagi pegawai KPK memang bermasalah dan tidak dapat dijadikan dasar pemberhentian  

Selain itu, fitnah-fitnah juga dilontarkan pada 75 pegawai yang paling masif adalah fitnah cap radikal. Kontroversi atas pengadaan TWK sebagai standarisasi alih status ASN KPK menarik atensi ketua PP Muhammadiyah sekaligus eks pimpinan KPK, Busyro Muqoddas yang menyatakan bahwa ditnah yang dilontarkan kepada 75 pegawai tersebut merupakan radikalisme politik dan tidak memiliki legitimasi moral, akademis maupun metodologi. 

Kepala Bidang Litigasi Lembaga Bantuan Hukum PP Muhammadiyah, Gufroni secara tegas menyatakan Muhammadiyah siap memberi bantuan hukum terhadap 75 pegawai dan segera mengajukan gugatan atas hal tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK sebab terindikasi cacat etik-moral dan melanggar HAM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun