Dia yang tinggal di apartemen merasa terganggu karena bunyi adzan yang begitu keras, terutama adzan subuh hingga dia tidak bisa tidur. Apalagi waktu bulan Ramadhan dimana suara orang sahur, orang mengingatkan Imsak, orang yang tadarus, melantunkan asma Allah dan adzan terdengar silih berganti. Waktu itu sejujurnya saya tidak bisa memberi jawaban yang pas pada Ana karena saya sendiri baru pertama kalinya mendengar komplain orang tentang adzan. Seumur-umur di Indonesia tidak pernah ada orang yang komplain dan bahkan kita sebagai umat Islam menganggap adzan sebagai penanda. Apalagi waktu bulan Ramadhan ketika adzan maghrib sangat dinantikan hehe.
Nah, dari situ saya pun bertanya-tanya mungkin memang benar adanya ada orang yang terganggu karena adzan. Apalagi Ana yang berasal dari Eropa dimana di beberapa kota daerahnya sangat tenang, jauh dari kebisingan, pastilah suara adzan terdengar asing dan mengganggu baginya. Bahkan ada negara yang mengeluarkan peraturan tentang polusi suara! Sebagian umat Islam mungkin menganggap komplain Ana itu berlebihan karena adzan adalah penanda waktu sholat sehingga tentu saja umat Islam dimana pun pasti akan membutuhkannya.
Namun, coba kita lihat dari perspektif Ana, jika kita di negeri asing lalu tiba-tiba lonceng gereja berbunyi beberapa kali dalam sehari apakah kita juga akan kesal? Apakah kita akan terganggu? Jika jawabannya ya, maka mungkin seperti itulah perasaan Ana. Ini bukan berarti saya mengatakan adzan dilarang, tentu saja tidak, tetapi sekali-kali kita perlu bercermin dan melihat orang-orang di luar sana yang bukan umat Islam, yang tidak membutuhkan adzan dan bahkan mungkin terganggu oleh adzan. Bukan berarti saya tidak menghormati adzan, tetapi disini saya berpendapat ada orang yang MUNGKIN tidak nyaman dengan berbagai tradisi keagamaan Islam.
Mengingat Indonesia bukanlah negara yang 100% penduduknya menganut Islam dan mengingat dasar negara kita adalah Pancasila, perlu kiranya kita bercermin kembali sejauh mana toleransi keagamaan yang kita lakukan. Sejauh mana wawasan kebangsaan kita terhadap Indonesia sehingga kita tidak begitu mudahnya menelan mentah-mentah ideologi ekstrem. Jangan ingin dihormati, jika kita tidak bisa menghormati. Islam yang seharusnya menjadi rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam seharusnya diejawantahkan menjadi rahmat bagi kaum muslimin maupun kaum non-muslimin.
Jika kita tidak mampu membuat seseorang terbuka hatinya terhadap agama kita, maka setidaknya janganlah menghina atau melecehkan agamanya. Ini berlaku bagi semua kalangan, baik Islam maupun non-Islam. Mungkin pada saat beribadah atau pada saat berucap kita pernah mendzolimi saudara kita yang tak seagama. Mungkin pula kita pernah sengaja maupun tak sengaja menyakiti hati umat lain. Ini yang perlu kita jadikan introspeksi. Tidak hanya umat Islam saja ya, tapi umat semua agama dan golongan. Agama kita boleh berbeda, ras dan suku bangsa kita boleh berbeda, tetapi jangan sampai hal ini menjadikan kita intoleran, menjadikan kita kaum yang iri hati dan dengki.
Saya pribadi selama ini bangga menjadi orang Indonesia karena saya menganggap Indonesia sebagai negeri yang multikulturalisme yang mampu mengakomodasi setiap pemeluk agama di Indonesia dengan baik. Saya tidak ingin bangsa saya terpecah belah dan lebih tidak ingin lagi negara yang saya cintai dipenuhi bibit-bibit kebencian dan permusuhan. Sejalan dengan Sumpah Pemuda, saya berharap setiap warga negara Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan agamanya. Bangga menjadi bangsa dan warga negara Indonesia, berarti juga harus menerima perbedaan dan menjunjung tinggi kebhinekaan. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI