Mohon tunggu...
Kanya Prasetyo
Kanya Prasetyo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Toleransi dan Kebangsaan

24 Desember 2016   16:18 Diperbarui: 24 Desember 2016   16:44 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerukunan Antar Umat Beragam di Indonesia. Sumber: Sinar Harapan

Kebhinekaan kita sedang diuji akhir-akhir ini. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan Pancasila seakan dipertanyakan keabsahannya oleh sekelompok orang yang juga hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita sudah merdeka 70 tahun lebih tetapi kita seakan masih hidup di zaman Belanda, ketika Belanda menerapkan politik pecah belah (divide et impera). Waktu itu, primordialisme masih kuat dan masing-masing suku sama-sama melawan penjajah. Hanya saja sayangnya suku-suku tadi terpecah belah sehingga belum mampu meruntuhkan penjajah sampai awal abad ke-20 ketika bermunculan organisasi-organisasi pemuda yang membawa semangat persatuan. Jangan lupakan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 para leluhur bangsa ini telah bersumpah mengakui bangsa, negara dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Nah jika akhir-akhir ini anda merasa semakin banyak orang yang ingin memecah belah, semakin banyak orang berhaluan ekstremis, anda tidak sendirian. Saya pun merasakan demikian. Perkara sepele dibesar-besarkan hingga sekarang menyangkut agama. Ya, agama menjadi topik dan komoditas terpanas menjelang Natal tahun ini. Setelah adanya Aksi Damai dan Super Damai, setelah adanya boikot Sari Roti, pengadilan Ahok, atribut Natal, sampai yang terakhir gambar pahlawan di uang rupiah yang diluncurkan beberapa waktu lalu.

Saya sebenarnya sudah lama ingin menulis masalah toleransi dan intoleransi di negeri ini, hanya saja saya belum sempat menulisnya. Perkara pahlawan di mata uang yang sebagiannya dicap kafir karena berasal dari agama bukan mayoritas di Indonesia menjadi pemantik saya menulis tulisan saya. Sekarang, bacalah kisah saya sejenak tentang toleransi, kemajemukan dan kebangsaan di Indonesia.

Saya lahir dari keluarga muslim dan semua yang tinggal serumah dengan saya juga muslim, hanya saja saudara-saudara jauh saya ada yang keturunan Cina dan beragama non-muslim. Saya pun sejak kecil diajari bagaimana caranya bersikap toleran tanpa mengganggu akidah dan iman saya. Saya bersekolah di sekolah negeri dari SD sampai SMA dan bahkan kuliah pun di universitas negeri. Saat bersekolah inilah saya bertemu dengan kawan-kawan saya yang beragama Islam, Katolik, Protestan bahkan Hindu.

Waktu SD saya masih ingat betul tidak ada seorangpun, baik siswa maupun guru kami, yang meributkan agama dan kami bisa menjalankan ibadah masing-masing tanpa mengganggu satu sama lain. Hal ini berlanjut sampai SMA dan dimanapun saya bersekolah setidaknya ada musholla untuk tempat kami sholat sedangkan untuk agama non-muslim ada guru khusus yang mengajar mereka. Saya pun tetap bergaul dengan teman-teman non-muslim ini seperti biasa. Bahkan ketika SMA salah satu coach debat bahasa Inggris kami beragama Buddha dan dia satu-satunya penganut Buddha yang pernah saya temui langsung dalam hidup saya. Saya berusaha menganut ajaran dalam surat Al-Kafirun, bagimulah agamamu dan bagikulah agamaku.

Sejujurnya, ketika saya merefleksikan pengalaman hidup saya sembari menulis tulisan ini, saya menemukan umat Islam di Indonesia ini cenderung dimanjakan dan take everything for granted. Tetapi kita sendiri tidak sadar bahwa hak-hak kita ini telah dipenuhi dengan baik di Indonesia dan bahkan ada sekelompok orang yang cenderung memaksakan kehendaknya atau memaksa umat Islam lain mengikuti mereka.

Bayangkan saja, di Indonesia masjid ada dimana-mana, bahkan di desa-desa terpencil setidaknya ada mushola atau langgar; ustadz, habib atau ulama juga banyak dan kita tidak akan kekurangan selama masih ada orang yang menegakkan Islam; adzan dikumandangkan 5 waktu bahkan disiarkan di televisi dan radio; ketika Ramadhan semua elemen masyarakat menghormatinya dan ketika Idul Fitri suasana di berbagai pelosok negeri sangat semarak dengan semangat untuk bermaaf-maafan dan berbuat kebaikan.

Jika kita bandingkan dengan umat Islam di negara-negara yang terkena konflik seperti Suriah atau di negara yang mayoritas non-muslim seperti Amerika Serikat misalnya, kita harusnya bersyukur. Kita dapat dengan bebas beribadah di mana saja tanpa takut todongan pistol atau ledakan bom. Kita dapat menjalankan puasa dengan aman dan nyaman tanpa takut tergoda dengan kenikmatan duniawi ataupun waktu yang tidak bersahabat. Yah bayangkan saja saudara-saudara kita yang berpuasa di Eropa atau Amerika dimana waktu puasa berkisar 16-18 jam pada musim panas. Nah sekali lagi, kita patut bersyukur dengan segala kemudahan dan limpahan rahmat dari Allah SWT di Indonesia.

Sejalan dengan hal diatas, saya teringat dengan 2 pengalaman saya sendiri. Pertama, ketika saya masih SMA dan masih tergabung dengan klub debat bahasa Inggris dimana salah satu anggotanya beragama Hindu. Teman Hindu saya ini sudah saya kenal dekat dari SD karena bersekolah di sekolah yang sama. Mengingat klub debat dimulai setelah jam pelajaran berakhir (diatas jam 2), kami pun selalu makan siang bersama lalu saya sholat di masjid sekolah. Nah teman Hindu saya tadi rela menunggu di halaman depan masjid menjaga tas saya sembari saya sholat.

Sungguh luar biasa teman saya tadi yang bahkan tidak pernah minta dihormati haknya, tetapi menghormati hak dan kewajiban beribadah saya. Sekarang pun saya berpikir, jika saya ada di posisi dia apakah saya akan ikhlas menjaga tas teman saya sembari dia beribadah? Apakah saya sudah menghormati hak-haknya ketika dia akan/sedang beribadah? Inilah contoh toleransi bagi saya, yang ternyata telah diterapkan oleh umat beragama lain, namun kita sendiri tanpa sadar menjadi intoleran.

Pengalaman saya yang kedua terjadi ketika saya magang di kantor PBB di Jakarta. Saat itu ada teman yang berasal dari Spanyol, sebut saja namanya Ana. Saya tidak tahu dia beragama apa, mungkin Katolik. Yang jelas dia bukan Islam. Ana yang sudah tinggal di Jakarta terlebih dahulu daripada saya menceritakan pengalamannya ketika di Jakarta pada waktu bulan Ramadhan. Kebetulan saya magang setelah lebaran, sedangkan Ana sudah berada di Jakarta sebelum Ramadhan.

Dia yang tinggal di apartemen merasa terganggu karena bunyi adzan yang begitu keras, terutama adzan subuh hingga dia tidak bisa tidur. Apalagi waktu bulan Ramadhan dimana suara orang sahur, orang mengingatkan Imsak, orang yang tadarus, melantunkan asma Allah dan adzan terdengar silih berganti. Waktu itu sejujurnya saya tidak bisa memberi jawaban yang pas pada Ana karena saya sendiri baru pertama kalinya mendengar komplain orang tentang adzan. Seumur-umur di Indonesia tidak pernah ada orang yang komplain dan bahkan kita sebagai umat Islam menganggap adzan sebagai penanda. Apalagi waktu bulan Ramadhan ketika adzan maghrib sangat dinantikan hehe.

Nah, dari situ saya pun bertanya-tanya mungkin memang benar adanya ada orang yang terganggu karena adzan. Apalagi Ana yang berasal dari Eropa dimana di beberapa kota daerahnya sangat tenang, jauh dari kebisingan, pastilah suara adzan terdengar asing dan mengganggu baginya. Bahkan ada negara yang mengeluarkan peraturan tentang polusi suara! Sebagian umat Islam mungkin menganggap komplain Ana itu berlebihan karena adzan adalah penanda waktu sholat sehingga tentu saja umat Islam dimana pun pasti akan membutuhkannya.

Namun, coba kita lihat dari perspektif Ana, jika kita di negeri asing lalu tiba-tiba lonceng gereja berbunyi beberapa kali dalam sehari apakah kita juga akan kesal? Apakah kita akan terganggu? Jika jawabannya ya, maka mungkin seperti itulah perasaan Ana. Ini bukan berarti saya mengatakan adzan dilarang, tentu saja tidak, tetapi sekali-kali kita perlu bercermin dan melihat orang-orang di luar sana yang bukan umat Islam, yang tidak membutuhkan adzan dan bahkan mungkin terganggu oleh adzan. Bukan berarti saya tidak menghormati adzan, tetapi disini saya berpendapat ada orang yang MUNGKIN tidak nyaman dengan berbagai tradisi keagamaan Islam.

Mengingat Indonesia bukanlah negara yang 100% penduduknya menganut Islam dan mengingat dasar negara kita adalah Pancasila, perlu kiranya kita bercermin kembali sejauh mana toleransi keagamaan yang kita lakukan. Sejauh mana wawasan kebangsaan kita terhadap Indonesia sehingga kita tidak begitu mudahnya menelan mentah-mentah ideologi ekstrem. Jangan ingin dihormati, jika kita tidak bisa menghormati. Islam yang seharusnya menjadi rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam seharusnya diejawantahkan menjadi rahmat bagi kaum muslimin maupun kaum non-muslimin.

Jika kita tidak mampu membuat seseorang terbuka hatinya terhadap agama kita, maka setidaknya janganlah menghina atau melecehkan agamanya. Ini berlaku bagi semua kalangan, baik Islam maupun non-Islam. Mungkin pada saat beribadah atau pada saat berucap kita pernah mendzolimi saudara kita yang tak seagama. Mungkin pula kita pernah sengaja maupun tak sengaja menyakiti hati umat lain. Ini yang perlu kita jadikan introspeksi. Tidak hanya umat Islam saja ya, tapi umat semua agama dan golongan. Agama kita boleh berbeda, ras dan suku bangsa kita boleh berbeda, tetapi jangan sampai hal ini menjadikan kita intoleran, menjadikan kita kaum yang iri hati dan dengki.

Saya pribadi selama ini bangga menjadi orang Indonesia karena saya menganggap Indonesia sebagai negeri yang multikulturalisme yang mampu mengakomodasi setiap pemeluk agama di Indonesia dengan baik. Saya tidak ingin bangsa saya terpecah belah dan lebih tidak ingin lagi negara yang saya cintai dipenuhi bibit-bibit kebencian dan permusuhan. Sejalan dengan Sumpah Pemuda, saya berharap setiap warga negara Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan agamanya. Bangga menjadi bangsa dan warga negara Indonesia, berarti juga harus menerima perbedaan dan menjunjung tinggi kebhinekaan.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun