“Enggak, enakan kalau panas-panas gini.”
Aku tidak berbohong waktu itu, rasa mie pangsitnya memang enak, luar biasa enak. Tak peduli kuah panas, aku langsung melahapnya. Tak peduli apa kata orang dan mungkin katamu sendiri melihatku makan dengan rakus. Keringat muncul di dahiku dan kamu hanya tergelak melihatku bercucuran keringat karena kuah yang panas dan pedas. Aku hanya tersenyum malu melihatmu seperti itu. Kita menghabiskan semangkuk mie hampir pada waktu bersamaan dan kamu tersenyum sedikit saat aku mengusap keringatku dengan tisu.
Waktu itu aku memesan mie pangsit dan kamu memesan mie ayam ditambah es teh manis untuk meredakan dahaga. Sekarang, aku hanya membayangkanmu disini, menikmati semangkuk mie dan meneguk segelas es teh. Karena kamu tidak ada, karena kamu tidak akan kesini lagi. Aku sedikit berkaca-kaca sekarang, bukan karena pedas mataku jadi berair, tapi karena aku memikirkanmu lagi. Aku pun bertanya-tanya apa dulu terselip rasa sayang di senyummu ketika kita menikmati mie di tempat ini? Atau itu bukan senyum rasa sayang tapi senyum perpisahan bagimu?
Kupikir rasanya sama saja ketika kita pertama kali makan atau saat aku sendiri. Kupikir seperti itu, tapi rasa mie juga dipengaruhi ekspektasi… ekspektasi makan mie bersamamu lagi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam event Fiksi Kuliner Fiksiana Community.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI