no. 73 Kanya Prasetyo
Hari ini aku mampir lagi ke gerobak penjual mie ayam Jakarta di samping lembaga bimbingan belajar itu. Aku sendirian saja, tapi banyak juga orang yang membeli mie ayam atau mie pangsit sesuai keinginan mereka. Mungkin ada 7 atau 8 orang selain aku. Semuanya dengan lahap menikmati semangkuk mie pesanan mereka.
“Mas, mie pangsit satu ya! Kayak biasanya,” ucapku ke si penjual.
“Oke.”
Aku memesan mie pangsit lengkap dengan acar, cabe rawit hijau dan krupuk pangsit. Aku menyukai cabe rawit sebagai teman makan pangsit. Jika masih kurang mantap aku masih bisa menambahkan sambal, saos tomat atau kecap. Kutelan ludah begitu si abang penjual mie memasak pesananku. Sangat sulit bagiku untuk menahan godaan mie karena jujur aku sangat menyukainya dan tidak pernah merasa bosan melahapnya. Abang penjual mie dengan cekatan melayani beberapa pembeli sekaligus. Mangkuk-mangkuk mie saling beradu, bumbu-bumbu seperti garam, merica dan entah apa lagi dicampur di dalam mangkuk. Sementara satu tangan mencampur bumbu, tangan lainnya merebus mie beserta sawi hingga tingkat kematangannya pas. Uap panas mengepul dari gerobak dan bau khas mie yang direbus merebak di udara. Terlihat pembeli lain juga mencuri pandang ke penjual mie itu untuk meyakinkan diri bahwa pesanannya sudah dibuat dan sesuai dengan keinginannya.
Aku hanya menunggu kurang dari 5 menit sebelum mie pesananku tiba. Kuahnya masih panas dan uap masih mengepul dari sana. Sesekali aku meniupnya, tak sabar untuk mencicipi mie pesananku. Aku menyeruput kuahnya sedikit, kurasa masih kurang pas. Kutambahi beberapa sendok sambal dan kecap. Kuaduk rata dan kucicipi lagi, entah mengapa masih kurang pas juga. Kutambahi sedikit kecap lagi dan kuaduk rata hingga warna kuahnya berubah dan menjadi oranye kecoklatan, bukan bening lagi. Mienya masih terasa panas bagi lidahku namun tetap kumakan saja. Raut wajahku sedikit berubah dan aku sedikit kecewa, mie pangsit ini sekarang terasa berbeda. Bumbunya tidak pas, mienya terlalu matang, taburan ayamnya terlalu sedikit, kuahnya terlalu pedas mungkin karena tadi kebanyakan sambal, jelas tidak cocok dengan lidahku. Tapi karena aku bukan tipe orang yang membuang-buang makanan, lambat laun kuhabiskan saja semangkuk mie itu.
Lama-lama aku mulai berpikir mengapa mie ini rasanya berbeda sekali? Kurasa waktu dulu aku mencicipinya pertama kali rasanya enak sekali. Mungkin mie terenak di kota ini yang pernah kucoba atau mungkin memang mie paling enak bagiku waktu itu. Waktu pertama kali memakannya aku bahkan ingin makan lagi dan yah mungkin dibungkus dibawa pulang. Sekarang, hanya semangkuk saja aku susah payah menghabiskannya. Apa mungkin bumbunya berbeda? Penyajiannya berbeda? Pemiliknya berubah? Kurasa abang penjualnya masih sama saja dan semuanya masih terlihat sama seperti ketika aku pertama kali kesini.
Ini bukan sekali dua kali aku merasakan mie ini sudah berbeda jauh dari pertama kali aku kesini. Kurasa aku sudah beberapa kali mengunjunginya selama 5 tahun terakhir. Kurasa aku duduk dan memesan mie ini setidaknya 3 kali dalam setahun. Entahlah, aku tak ingat lagi sudah berapa kali. Namun yang pasti, kunjunganku yang kedua hingga yang sekarang ini tak pernah ada lagi dirimu. Hari ini, sama dengan 5 tahun yang lalu, hari tes SBMPTN yang digelar serentak. Hari ini 5 tahun yang lalu aku menemuimu di depan lembaga bimbingan belajar ini setelah kamu selesai tes. Kita sama-sama kelaparan belum makan siang dan kamu usulkan untuk makan mie ayam di tempat ini.
“Enak gak?” tanyamu.
“Enak kok. Enak banget malah,” ujarku sambil tersenyum.
“Makan dikit-dikit aja, gak usah keburu. Masih panas kuahnya,” katamu memperhatikan cara makanku.
“Enggak, enakan kalau panas-panas gini.”
Aku tidak berbohong waktu itu, rasa mie pangsitnya memang enak, luar biasa enak. Tak peduli kuah panas, aku langsung melahapnya. Tak peduli apa kata orang dan mungkin katamu sendiri melihatku makan dengan rakus. Keringat muncul di dahiku dan kamu hanya tergelak melihatku bercucuran keringat karena kuah yang panas dan pedas. Aku hanya tersenyum malu melihatmu seperti itu. Kita menghabiskan semangkuk mie hampir pada waktu bersamaan dan kamu tersenyum sedikit saat aku mengusap keringatku dengan tisu.
Waktu itu aku memesan mie pangsit dan kamu memesan mie ayam ditambah es teh manis untuk meredakan dahaga. Sekarang, aku hanya membayangkanmu disini, menikmati semangkuk mie dan meneguk segelas es teh. Karena kamu tidak ada, karena kamu tidak akan kesini lagi. Aku sedikit berkaca-kaca sekarang, bukan karena pedas mataku jadi berair, tapi karena aku memikirkanmu lagi. Aku pun bertanya-tanya apa dulu terselip rasa sayang di senyummu ketika kita menikmati mie di tempat ini? Atau itu bukan senyum rasa sayang tapi senyum perpisahan bagimu?
Kupikir rasanya sama saja ketika kita pertama kali makan atau saat aku sendiri. Kupikir seperti itu, tapi rasa mie juga dipengaruhi ekspektasi… ekspektasi makan mie bersamamu lagi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam event Fiksi Kuliner Fiksiana Community.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI