Mohon tunggu...
Rian "Aya" Indriani
Rian "Aya" Indriani Mohon Tunggu... profesional -

Saya yang selalu percaya bahwa ide gila itu muncul sewaktu-waktu. Saya yang selalu percaya bahwa walau tidak bisa berenang, laut itu selalu menyenangkan dan menenangkan. Saya yang selalu percaya bahwa saya, bisa! Bisa gila!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Setan Kecil Berkeliaran di Masjid

1 Agustus 2011   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:11 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perhatian, berikut adalah tulisan setengah reportase

setengah opini dan sepenuhnya curahan hati.


Well, saya bukan termasuk penganut agama yang ta'at. Bahkan, ketika shalat tarawih pertama kemarin, sedih dalam hati saya berkata,

"Tuhan, kenapa hati ini tidak milikmu? It doesn't belong to you..."

Sugeng rawuh ramadhan!

Saya, adik saya dan pacar adik saya baru saja pulang dari shalat tarawih di dekat kontrakan. Kami baru pindah ke sini (suatu pojok DIY) sekitar satu bulan yang lalu. Sebenarnya sejak magrib saya tidak berniat untuk kembali shalat tarawih di sana. Namun, demi semangat yang masih hangat, berangkatlah kami ke masjid. Astaghfirullah, esmosi bukan kepalang. Setan setan kecil berkeliaran di mana mana.

Ya, selain nangkring di berbagai supermarket, jalan jalan, setan setan juga berkeliaran di masjid. Harusnya saya ikuti saja niatan untuk tidak shalat tarawih malam kedua tadi. Namun, kalau begitu tidak akan ada curahan hati ini. Jadi begini...

Saya iri dengan umat agama lain dalam beribadah. Saya pernah menghadiri perayaan Nyepi di Candi Prambanan Yogyakarta. Saya juga pernah menemani teman ke Gereja Ganjuran Bantul Yogyakarta. Saya bahkan beberapa kali ikut Misa di Gereja St Mikael di Nunang Flores. Dan seterusnya dan seterusnya. Saya benar benar kagum pada mereka, begiiiiiiitu khusyuknya beribadah. Berserah diri kepada Tuhan layaknya sedang curhat untuk mendapatkan ketenangan hati.

Dan, itu tidak saya dapatkan ketika Ramadhan. Seperti tahun lalu, pengalaman saya selalu buruk. Shalat di masjid majid Jawa (yang selama ini saya datangi) tidak pernah membuat saya tenang. Well, memang sih khusyuk itu datangnya dari dalam diri sendiri. Kalau tidak bisa, ya derita saya.

TAPI!

Ini keterlaluan... Sungguh...

Saya tidak bermaksud membanding bandingkan antara kampung halaman saya dengan Yogyakarta. Bahkan saya begitu menyadari begitu apatisnya saya terhadap Palembang. Saya lebih "mencintai" Gudeg daripada Mpek Mpek. Kami, terkenal dengan wataknya yang keras. Dan, untuk kali ini saya bersyukur atasnya.

Di masjid dekat rumah (di Palembang), jika anak anak ribut, maka banyak yang akan menegur (baca : memarahi) agar tidak mengganggu kekhusyukan jamaah. Bahkan, saya juga masih ingat, imam tidak akan memulai shalat jika anak anak masih ribut.

Sedangkan di sini? Well, sudah enam tahun saya tinggal di Yogyakarta dan tidak saya dapati hal hal seperti itu. Setan setan kecil bebas berkeliaran dari sana ke sini dari sini ke sana. Di maaaaaaaaaaana mana. Suara mereka, hentakan kaki mereka, membuat saya benar benar emosi jiwa raga. Imam hanya diam, berpura pura tidak tahu dan mencoba untuk tidak peduli. Bahkan termasuk dalam urusan sof. Mau tahu? Sof perempuan banyak yang putus karena diselipi anak anak. Bahkan dibiarkan kosong karena kemudian anak anak mereka bermain berlari sana sini ketika ibunya shalat. Pacar adik saya akhirnya menegur seorang ibu di sebelahnya,

"Maaf bu, ini sof nya kosong."

"Oh iya, tadi anak saya itu."

Hohoho sebuah tindakan yang heroik sekali. Saya suka! Akhirnya ada yang berbicara. Kami berada di sof perempuan terdepan karena tidak mau terganggu oleh anak anak tetapi kami salah. Padahal, sebelum pacar adik saya menegur ibu tersebut, saya mengajak ia untuk pergi setelah shalat Isya'.

"Yuk, kita pergi habis ini."

Namun, niat itu kami urungkan. Terlalu frontal :p

Dari awal hingga akhir, saya menahan emosi dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Bahwa, semuanya adalah salah orang tua mereka. Ya, saya menyalahkan orang tua mereka. Waktu kecil, saya dididik untuk benar benar tidak merugikan lingkungan sekitar saya. Ketika orang tua hendak pergi ke supermarket, misalnya, ibu akan meminta saya untuk berjanji terlebih dahulu.

"Boleh ikut asal ga minta macem macem."

Walhasil, saya tidak pernah sampai merengek rengek di lantai minta bon bon.

"Boleh ikut asal ga rakus."

Walhasil, saya tidak pernah makan atau minum atau apalah yang berlebay ketika berada di rumah orang.

Hai orang tua dan calon orang tua, ingatlah curahan hati saya ini... Namun, yang paling bersalah adalah saya. Mengapa saya tidak bisa khusyuk di antara semua godaan. Maaf  Tuhan, saya tidak begitu alim. Saya bukan perempuan hebat. Saya tidak sanggup, Tuhan. Jujur...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun