Menurut apa yang saya baca, sabung adalah sebuah kata yang berarti pahlawan, jejaka, pemenang. Dimana jantan adalah kata untuk mewakili sang ayam karena yang dipertarungkan adalah ayam jantan. Jadi, sabung ayam adalah pahlawan jantan, jejaka jantan, pemenang jantan. Sabung ayam itu sendiri merupakan bahan penganalogian (perbandingan) dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat Bali. Misalnya saja, seorang yang kikir dan hanya bisa omdong alias omong doang tanpa merealisasikan omongannya, dianalogikan seperti seekor ayam jantan yang jika ekornya dipegang maka akan meloncat-loncat di tempat tanpa melawan siapapun. Selain itu, sabung ayam juga bisa berarti korban darah yang dipersembahkan karena memang pada saat pertandingan, akan ada banjir darah. Wajar, karena tiap ayam dipersenjatai dengan taji tajam yang (sangat) mematikan! Sabung ayam juga dianggap sebagai suatu olahraga, tetapi menurut saya lebih ke sebuah seni. Seni pertunjukan berdarah.
Sabung ayam bagi seorang individu (terutama laki-laki) merupakan ajang untuk mempertontonkan kehebatan dan kejantanan "anak kesayangannya" di muka umum. Sabung ayam juga menjadi ajang untuk menikmati suatu pertunjukan seni baik bagi penontonnya maupun si penyabung. Kebetulan saya menanyakan apa arti seni bagi teman saya yang seorang seniman. Menurutnya, seni itu adalah suatu kenikmatan. Ketika orang Bali dibilang seniman, maka mereka yang sedang terlibat ke dalam sabung ayam seolah-olah sedang menikmati seni. Mereka tenggelam dalam menikmati keindahan sabung ayam, yang mereka sebut sebagai "kedalaman dalam bermain". Sabung ayam juga menjadi ajang perpindahan hirarki status orang Bali ke dalam susunan suasana sabung ayam. Mungkin jika saya sederhanakan, sabung ayam menjadi ajang untuk menunjukkan bagaimana status seseorang itu. Jika (keturunan) pangeran berkata bahwa ia akan mengadu ayam jagonya, maka dipercaya sabung ayam yang akan terjadi sangatlah tidak bisa diduga-duga. Tetapi jika yang mengadu adalah wong cilik maka agak diragukan, menurut saya.
Kemudian, sabung ayam juga menjadi obsesi untuk memperoleh kekuatan dan memperjelas tentang seperti apakah seorang Bali itu sesungguhnya. Terkadang, sabung ayam juga menjadi ajang untuk melampiaskan dendam kerabat, bahkan ajang memberikan dukungan kepada kerabatnya. Siapa yang tidak memberikan dukungan kepada jago kerabatnya dan malah memberikan dukungan kepada pihak lawan, maka itu adalah suatu hal yang tidak diinginkan. Sabung ayam bagi komunitas orang Bali merupakan ajang untuk mengumpulkan uang demi kepentingan bersama, misalnya untuk membangun sekolah baru.
Tetapi bagi para elite, sabung ayam dianggap sesuatu yang primitif alias terbelakang, serta memalukan. Bagi mereka, sabung ayam tidak akan memperkembangkan sebuah negara yang ambisius. Jadi, bagi mereka sabung ayam hanyalah hal yang sia-sia. Nah, bagi pemerintah (A.K.A negarra) sabung ayam tidak lebih hanyalah sebuah perjudian. Oh tentu saja tidak, sabung ayam malah secara tidak langsung membantu "meringankan beban" mereka. Ketika pembangunan sekolah menjadi tanggung jawab (baca : beban) negara, maka ajang sabung ayam memberikan "bala bantuan" kepada mereka. Suatu aji mumpung, bukan?
Jika anggapan masyarakat bahwa polisi dapat disuap untuk menutup-nutupi kegiatan persabungan, maka anggapan itu agaknya keliru. Karena buktinya, tetap saja kerumunan orang yang sedang menikmati sabung ayam akan lari pontang-panting -tak terkecuali Geertz dan istrinya- ketika sosok-sosok berseragam menunjukkan batang hidungnya. Tetapi dari bacaan, saya mengira bahwa seorang polisi tidak akan brave enough "menyeruduk" masuk ke dalam kerumunan, ia akan berani jika dalam jumlah yang besar, seperti segeromblan sapi. Polisi per orang (menurut saya) sudah pasti akan kalah jika "cari masalah" dengan mereka yang sedang menikmati pertunjukan.
Mana berani!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H