Mohon tunggu...
Kanti W. Janis
Kanti W. Janis Mohon Tunggu... -

Seorang penulis cerita yang sering menyanyi, melukis, dan bermain alat musik, bisa juga menjadi konsultan hukum karena dulu sekolah hukum dan tercatat sebagai advokat PERADI. Hobi memasak dan jalan-jalan. Buku karya Kanti W. Janis:\r\n1. Saraswati - AKOER (2006)\r\n2. Frans dan Sang Balerina - GPU (2010)\r\n3. Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos - Optimist Plus (2010)\r\n\r\ntwitter @kantiwjanis\r\nwebsite : kantiwjanis.com, civismofoundation.org, optimist-plus.com, rja-lawfirm.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku, Nasionalis?

5 Mei 2012   18:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang bilang aku nasionalis, karena aku selalu bicara tentang negaraku, di kepalaku cuma negaraku, sedikit-sedikit aku bilang demi Indonesia.

Sebenarnya dibanding cinta negara, aku lebih cinta keluarga dan teman-teman.

Aku selalu berpikir, pertama diri sendiri harus beres dulu, baru bisa bantu orang lain. Kemudian keluarga, teman-teman, masyarakat Indonesia, baru masyarakat dunia. Prioritasku tentu Indonesia, karena aku orang Indonesia, keluarga dan teman-temanku hidup di Indonesia. Kami lahir dan dihidupi negeri ini.

Bagaimana aku bisa bikin sejahtera keluargaku, teman-teman, dan bangsa kalau negaraku carut - marut berantakan?
Pikiranku sederhana saja, kalau negaraku sudah sejahtera, maka keluarga dan teman-teman, juga bangsaku akan sejahtera juga. Dan ngga cuma satu generasi aja yang sejahtera, tapi juga anak cucu dan keturunanku seterusnya.

Gimana aku bisa tenang, mendengar saudaraku harus masuk sekolah jam setengah 7 pagi, pulang sore, dari pagi sampe jam 4 sore. Ditekan habis-habisan di sekolah, untuk mengejar peringkat, supaya sekolahnya jadi sekolah unggulan.

Adikku stress lihat teman-temannya begitu berambisi lolos SPMB, belajar (menghafal) sampai frustasi. Dulu, waktu teman-temanku nggak lulus SPMB mereka nangis-nangis. Aku juga nangis, padahal masuk universitas negeri tidak pernah menjadi mimpiku (aku benci sekolah). Saat itu aku hanya tertekan. Karena seolah-olah mereka yang lolos saringan lebih pintar, dan aku bodoh. Tapi toh, teman di sekolah yang selalu ranking satu juga tidak lolos. Aku juga dengar beberapa kasus bunuh diri karena alasan yang sama. Pendidikan macam apa yang diberikan di sekolah sebenarnya? Bukankah tujuan akhir pendidikan seharusnya mengajarkan seorang anak untuk bisa mandiri, punya budi pekerti yang baik, bukan cuma jadi lulusan universitas bergengsi. Lagipula, sudah terbukti, orang-orang tersukses di dunia, banyak yang bukan lulusan sekolah. Yang penting adalah kemauan untuk maju.

Tambah khawatir lagi membaca berita tentang isi LKS  sekolah dasar, yang berisi tentang cara membunuh, poligami, dan seorang perempuan yang disuruh mengaku hamil untuk merusak rumah tangga orang lain (tanpa materi pendidikan yang kacau itu, negara ini sudah melahirkan pemimpin-pemimpin sakit jiwa kok). Kasian saudara-saudara saya yang masih sekolah...

Bagaimana aku bisa tenang, kalau tiap hari keluar rumah, jalanan macet penuh polusi? Sedikit-sedikit banjir? Orang-orang merokok seenaknya di dekat ponakanku yang masih bayi. Bagaimana bisa aku diam?

Bagaimana aku bisa tenang, tiap kali baca koran, ada kasus anak SD gantung diri karena malu ngga bisa bayar uang untuk studi wisata (bukan studi banding lho).

Bagaimana aku ngga pedih melihat Tim-Tim lepas dari pertiwi. Dulu Pamanku ikut perang memerdekakan Tim-Tim, sampai dia hampir mati, dan pisah dari keluarganya selama 9 bulan.

Bagaimana aku nggak gemes melihat kekayaan Indonesia yang seharusnya bisa bikin sejahtera bangsaku malah dieksploitasi dan dimonopoli bangsa lain?

Bagaimana aku nggak was-was, sepupu yang masih kecil-kecil lebih hafal lagu-lagu cinta orang dewasa, daripada lagu Balonku atau Pelangi?
Ah, terlalu banyak kepedihan itu.

Jadi aku tidak sok berjiwa nasionalis, patriostis, malah sebenernya aku ngga kepikiran tentang itu, pikiranku sederhana...Aku hanya ingin setidaknya orang-orang terdekatku bisa hidup layak...Lalu nanti anakku kelak, dan anaknya lagi, dan anaknya kemudian, dan...dan...

Semua saling berhubungan. Kalau Indonesia bebas korupsi, keadilan ditegakan, yang menikmati adalah kita bersama, kemudian generasi ke depan, anak cucu kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun