Â
Di sebuah desa di provinsi Sumatera Utara, ada seorang anak yang bernama Samosir. Ayahnya bernama Toba.
Pada pagi hari Samosir diminta oleh ibunya untuk mengantar makanan untuk ayahnya di ladang.
"Samosir! Tolong antarkan makanan untuk ayah, ya," pinta ibunya.
 "Baik, Bu!" awab Samosir membawa makanan ayahnya. Samosir bergegas mengantar makanan ke ladang ayahnya.
Saat dalam perjalanan, Samosir merasa kelelahan. Ia melihat sebuah gubuk dan segera masuk ke gubuk itu. Sambil duduk, Samosir melihat makanan ayahnya yang lezat. Rasanya ia ingin sekali melahapnya. Tak lama, tanpa basa-basi, Samosir menyantap makanan milik ayahnya. Ia lupa kalau makanan itu bukan untuknya.
Selesai makan ia baru ingat kalau makanan itu milik ayahnya. Samosir takut jika ayahnya marah. Samosir mempunyai ide agar ayahnya tidak tahu jika ia telah menghabiskannya. Ia buru-buru pulang ke rumah. Sampai dirumah ibunya bertanya pada Samosir.
"Samosir, apakah kau sudah memberikan makanannya kepada ayah?" tanya ibunya.
"Eeeh ... iya ... sudah, Bu," jawab Samosir gugup.
 "Baiklah," jawab ibunya percaya.
Siang hari itu tidak biasannya Toba pulang awal. Dia merasa lapar karena makanannya belum diberikan.
"Ibu! Mana makanan milikku?" bentak Toba kepada istrinya.
 "Tadi sepertinya sudah diberikan oleh Samosir,"sahut istrinya sabar.
"Di mana!? Tidak ada, kok!"
"Tapi ... tadi kata Samosir ia sudah memberikannya," jawab istri Toba.
"Pasti dia berbohong! Panggil dia ke sini,"
Istri Toba bergegas memanggil anaknya. Samosir pun langsung datang.
"Ada apa, Bu?" tanya Samosir.
"Apakah kamu benar-benar sudah memberikan makanannya kepada ayahmu?"
"Iya, aku memberikannya kok," dustanya.
"Pasti kamu berbohong! Aku sama sekali tidak melihat makanan di ladang," kata Toba marah.
"Emm ... sebenarnya aku memakannya saat perjalanan menuju ladang. Maafkan aku karena telah berbohong ayah," jawab Samosir jujur.
Toba meradang. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Matanya melotot galak.
"Tidak! Aku tidak akan memaafkanmu! Kamu keterlaluan!" bentak Toba.
"Maafkan aku, Ayah ... aku bersalah ... aku tidak amanah," sesalnya.
"Tidak! Jika ayah tidak makan, nanti ayah akan kelaparan! Kamu tahu rasanya kelaparan!?" cecar ayahnya.
"Tahu, Yah. Aku tidak sengaja memakannya tadi. Maafkan aku,"
"Aku bilang apa, aku tidak mau!" tolak ayahnya.
"Ayolah Toba, maafkanlah anakmu," sela ibunya.
"Tidak aku tetap tidak mau! Dia keterlaluan!"
"Maafkanlah, dia kan tidak sengaja," kata ibunya yang sayang sekali kepada Samosir   Â
"Aku tetap tidak mau! Walaupun dia tidak sengaja tapi dia berbohong," geram Toba.
"Baiklah ... jika tidak mau, aku dan Samosir akan pergi!" kata istrinya marah."
Istri Toba dan Samosir pun pergi meninggalkan Toba karena di tidak memaafkan kesalahan kecil yang dibuat Samosir.
"Istriku! Jangan pergi dari sini!" teriak Toba menyesal sambil menangis.
Istri Toba dan Samosir pun tidak memedulikan penyesalan Toba. Mereka langsung saja pergi ke tempat yang jauh dari rumah. Toba pun menangis tidak henti-hentinya, sampai-sampai air mata itu menjadi banjir dan mebentuk danau. Akhirnya tempat itu disebut Danau Toba.
 Pesan dari cerita legenda ini adalah kita tidak boleh berbohong dan harus berlapang dada untuk memaafkan kesalahan orang lain.
        Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H