Di negeri kita, kesejahteraan guru masih tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini tercermin dari tingkat UMR yang berlaku di Sumba, NTT. Pada tahun 2023, tingkat UMR wilayah tersebut sampai Rp 2.123.994.Â
Dengan upah dari kasus di atas, menjadi guru saja tak cukup. Agar kebutuhannya terpenuhi, guru melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi guru bimbingan belajar, berdagang, hingga menjadi kreator konten.Â
Tak hanya mencari pundi-pundi tambahan di ladang lain demi mencukupi hidup sehari-hari, guru juga harus menghadapi kenyataan pahit. Rupanya, 42% individu yang terjerat oleh pinjaman online memiliki profesi sebagai guru (OJK, 2021), hampir setengah dari sampel tersebut. Sejauh ini, Indonesia memiliki 3,39 juta guru pada tahun 2024 (BPS, 2024).Â
Walaupun jumlah tenaga kerja pendidik dalam negeri  sudah terlihat cukup, nampaknya Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru di tahun 2024.Â
Di tengah kekurangan guru yang mendesak, ribuan guru Indonesia jatuh ke dalam  perangkap utang. Beban ganda ini tidak hanya mengancam kesejahteraan guru, tetapi juga kualitas pendidikan anak bangsa.
Taman Ilmu yang Mulai LayuÂ
Guru sesungguhnya jantung dari pendidikan. Walaupun pemerintah berperan sebagai otak yang memberi arahan, apapun yang terjadi di lingkup  sekolah adalah karena peran  guru.Â
Pastinya, menjalani pendidikan juga bukan hal yang mudah. Lalu, mengapa individu memilih untuk terus menuntut ilmu? Ternyata, satu tahun tambahan sekolah dapat meningkatkan pendapatan sekitar 5.7% (IFLS,2023), fakta ini  menggambarkan pentingnya pendidikan bagi seorang individu.Â
Tentu saja, hal tersebut  menjadi tantangan bagi sang guru, karena keberlangsungan akademik siswa berpatok kepada guru yang mengajarkan komponen dasar pendidikan. Sayangnya, tugas mulia ini tidak disandingi dengan insentif sepadan.Â
Tidak hanya itu, guru dituntut untuk bisa mengupayakan segala hal yang ada di sekitarnya. Di wilayah terpencil Indonesia, dimana sarana untuk pembelajaran terbatas, guru dituntut  untuk kreatif mencari solusi.Â