Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lalu, Siapa yang akan Mengajarkan Anak-Anak Kita?

23 November 2024   20:09 Diperbarui: 23 November 2024   23:01 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Christian Haefke, 2003

Jejak yang Diwariskan 

Ketidakpastian kebijakan dan upah minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, tentu wajar  jika  individu kompeten menjauhkan diri dari sektor pendidikan. Mereka memilih untuk mulai dari nol dan secara progresif merintis karirnya di bidang lain, karena mereka sadar bahwa upah yang ditawarkan di sektor pendidikan tidak mencapai reservation wage yang mereka ekspektasikan. Reservation wage adalah tingkat upah terendah yang akan diterima oleh suatu individu yang tidak memilih untuk tetap menganggur. Dengan kompetensi yang mereka miliki, tingkat pendidikan yang tinggi, dan faktor kondisi ekonomi di saat itu, reservation wage dapat semakin naik. Jikalau hal ini terjadi dan tidak diseimbangi oleh kenaikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sekolah tidak akan mampu memenuhi permintaan tersebut dan pada akhirnya merekrut guru kurang kompeten tetapi pembayaran upahnya memasuki anggaran yang dimiliki. Jika pekerjaan yang dilakukan beda dengan pendidikan dan spesialisasi individu tersebut, ini bisa menyebabkan mismatch of labour yang dapat digambarkan dengan Beveridge Curve seperti di bawah ini.

Sumber : Christian Haefke, 2003
Sumber : Christian Haefke, 2003

Pada Beveridge Curve di atas, terdapat labour market tightness di X axis dan unemployment rate pada Y axis. Labour market tightness adalah variabel yang menggambarkan lowongan kerja yang ada. Semakin besar jumlah labour market tightness berarti semakin besar kesempatan kerja yang dapat digarap oleh pengangguran. Entry cost adalah biaya yang harus dikeluarkan suatu perusahaan untuk rekrut seseorang dan semakin tinggi biaya tersebut, maka kesempatan kerja yang ditawarkan semakin sedikit. Unemployment benefit yang tinggi juga dilatarbelakangi oleh reservation wage yang tinggi, jika kedua hal ini diiringi dengan adanya entry cost,  ini bisa berdampak negatif kepada jumlahnya pengangguran di Indonesia. Perubahan labour market tightness dari 0.2 - 0.4 menandakan bahwa ada penurunan entry cost yang dapat menyebabkan berkurangnya pengangguran dan kesempatan kerja yang semakin meluas. Jika unemployment benefit nya rendah, perubahan entry cost tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Oleh karena itu ada penambahan 1 - 1.2 di labour market tightness tidak begitu besar. Untuk merangkum, reservation wage yang tinggi maka kesempatan kerja semakin sedikit. Sedangkan saat reservation wage rendah, maka semakin banyak kesempatan kerja yang tersedia. 

Permintaan akan guru yang kompeten pada bidangnya masih melambung tinggi (BPS, 2024), tetapi bangku guru kosong yang diisi seringkali tidak tepat sasaran. Hampir setengah dari guru di Indonesia belum memiliki pendidikan sarjana, realitas ini  mungkin jarang dilihat di kota-kota besar layaknya  Jakarta, tetapi  seringkali dijumpai di wilayah terpencil di Indonesia. Contohnya, pemerintah sedang menyiapkan program dimana guru honorer yang belum memiliki gelar sarjana dapat menjadi ASN di wilayah terpencil. Walaupun para HRD sering mengagungkan pendidikan tinggi, di wilayah non-metropolitan Indonesia, banyak tenaga kerja pendidik yang bersemangat untuk mengajar, namun kemampuan mereka dibatasi karena fasilitas yang tersedia. Permintaan akan guru ini juga sulit untuk dipenuhi karena banyak individu yang lebih memilih untuk mengabdi di kota dibanding wilayah pedesaan. Lagi dan lagi, sumber daya manusia yang unggul menumpuk di kota maju dan wilayah terpencil hidup serta berkebatasan. 

Upaya Pemerintah Untuk Memperbaiki Situasi 

Pemerintah tampaknya turut andil untuk mengubah sistem pendidikan bangsa. Hal ini terjadi melalui pemisahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menjadi tiga bagian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dan Kementerian Budaya. Alhasil timbul pertanyaan dari motivasi di balik penerapan kebijakan tersebut. Hal ini diterapkan untuk memiliki fokus yang lebih rinci untuk setiap strata pendidikan. Pastinya, di setiap tingkat pendidikan memiliki permasalah sendiri, jika kementerian dibagi untuk setiap jenjangnya, isu dapat lebih mudah ditangani dan diharapkan meningkatkan keberhasilan kebijakan yang ada. 

Seringkali ada perbedaan di antara upah yang diterima oleh guru berstatus PNS dan tidak. Melihat hal ini, pemerintah ingin menyetarakan posisi dan guru yang memiliki 2 status yang berbeda. Kebijakan ini dinamakan inpassing, yang diperkirakan akan dilaksanakan pada tahun 2025. Sudah menjadi berita lama bahwa kami sering mendengan guru honorer menyuarakan pendapatnya perihal perbedaan kesejahteraan yang dirasakannya dengan guru PNS. Yang pasti, banyak guru PNS memiliki kepastian akan gajinya dan secara finansial mereka terpenuhi. Meskipun guru honorer tidak kalah kerja keras, hasil yang diperoleh tetap beda. Untuk mengurangi kasus seperti ini, pemerintah ingin menerapkan inpassing sebagai suatu bentuk apresiasi atas kontribusinya terhadap sektor pendidikan Indonesia, walau tanpa status PNS tersebut.

Akankah gaji tinggi membuat sistem pendidikan membaik?

Sebenarnya, itu yang diharapkan. Namun, suatu eksperimen yang dilaksanakan oleh World Bank mengatakan hal lain. Pada tahun 2005, telah disahkan undang-undang guru dimana pemerintah akan menambah upah guru dua kali lipat. World Bank melakukan randomised controlled trial kepada 260 sekolah yang disebar di 20 wilayah yang berbeda, guru dari 120 sekolah dinaikkan upahnya secara langsung dan guru dari 240 sekolah lainnya mendapatkan kenaikan upah secara perlahan. Jika  dilihat dari perspektif guru, mereka melaporkan adanya tingkat kesejahteraan finansial lebih tinggi dan berkurangnya pekerjaan sampingan. 

Akan tetapi, dampak yang dirasakan oleh siswa  berbanding terbalik. Hasil tes siswa  cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan signifikan dari hasil pembelajaran. Selain itu, guru juga tidak mengubah metode pengajaran, sehingga berujung kepada tidak adanya perbedaan dari kualitas pembelajaran sebelum dan sesudah kenaikan upah. Dengan hasil yang stagnan, World Bank menyimpulkan bahwa kenaikan upah pada guru tidak membuahkan hasil pada murid-muridnya, meskipun kenaikan upah guru ini diperkirakan dapat  menghabiskan 5% dari APBN. Kenaikan upah ini tidak efektif secara biaya maupun hasil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun