Introduction
Global Value Chains (GVC) yang rumit telah lama menopang perdagangan internasional, mendorong spesialisasi dan efisiensi dalam skala global. Namun, beberapa tahun terakhir ini telah mengungkap kerapuhan yang melekat pada sistem yang saling terhubung ini. Pandemi COVID- 19, ketegangan geopolitik, dan bencana alam telah memicu gangguan yang signifikan dalam rantai pasokan, menggarisbawahi kerentanan yang dihadapi oleh negara-negara yang sangat terkait dengan GVC.
Bagi Indonesia, negara yang sangat bergantung pada perdagangan internasional, potensi runtuhnya GVC menghadirkan tantangan ganda: menavigasi dampak ekonomi yang langsung terjadi dan pada saat yang sama memanfaatkan peluang untuk merestrukturisasi dan memperkuat ekonomi domestik.
Â
Vulnerability of Key Export Sectors
Data dari OEC World 2022 mengungkapkan bahwa sektor-sektor ekspor utama Indonesia, seperti batu bara, minyak kelapa sawit, ferroalloys, gas alam, dan bijih tembaga, sangat terintegrasi dalam GVC. Integrasi ini membuat mereka rentan terhadap guncangan eksternal yang dapat mengganggu produksi dan arus ekspor.Â
Misalnya, kelangkaan bahan baku akibat bencana alam atau konflik geopolitik di negara pemasok dapat menghambat produksi di Indonesia. Penutupan pabrik di negara tujuan ekspor, seperti yang diakibatkan oleh kebijakan karantina wilayah selama pandemi, dapat menyebabkan penurunan permintaan dan kelebihan pasokan dalam negeri. Selain itu, perubahan kebijakan perdagangan internasional, seperti pengenaan tarif atau hambatan non- tarif, dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar global.
Gangguan-gangguan ini dapat berdampak besar pada perekonomian Indonesia. Penurunan volume ekspor akan mengurangi pendapatan devisa negara, sementara penurunan harga komoditas dapat menekan pendapatan produsen dan mengurangi kontribusi sektor-sektor ini terhadap PDB.Â
Akibatnya, Indonesia dapat menghadapi kerugian ekonomi yang signifikan, termasuk perlambatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan tekanan pada nilai tukar rupiah. Dampak negatif ini akan sangat terasa pada neraca perdagangan, dengan potensi defisit yang melebar akibat penurunan nilai ekspor yang tidak diimbangi dengan penurunan impor.Â
Dalam jangka panjang, ketergantungan yang besar pada ekspor komoditas mentah membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan permintaan global. Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi ekonomi, meningkatkan nilai tambah produk ekspornya, dan memperkuat industri dalam negeri agar lebih tahan terhadap guncangan GVC.
Industri di Indonesia yang sangat bergantung pada bahan baku impor atau berorientasi ekspor, seperti manufaktur, tekstil, dan otomotif, merupakan pilar penting bagi perekonomian nasional. Pada tahun 2023, sektor manufaktur menyumbang sekitar 18% terhadap PDB Indonesia, sementara industri tekstil dan otomotif memainkan peran penting dalam penyerapan tenaga kerja dan pendapatan ekspor.Â
Namun, ketergantungan mereka pada GVC membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Gangguan pada rantai pasokan global, seperti yang disaksikan selama pandemi COVID-19 atau konflik geopolitik, dapat menyebabkan kelangkaan bahan baku, peningkatan biaya input produksi, dan kesulitan dalam mengirimkan produk jadi ke pasar internasional.
Bagi industri manufaktur, kelangkaan komponen impor dapat menghambat proses produksi dan menyebabkan penundaan dalam memenuhi pesanan. Industri tekstil, yang sangat bergantung pada kapas impor dan bahan baku lainnya, dapat menghadapi kenaikan biaya produksi yang signifikan, sehingga mengurangi daya saing produk mereka di pasar global.Â
Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor kapas senilai kurang lebih 1,2 USD, yang menyoroti kerentanan sektor ini terhadap gangguan rantai pasokan. Sementara itu, industri otomotif, yang sangat terintegrasi ke dalam GVC, dapat mengalami gangguan produksi yang parah karena kekurangan komponen utama seperti semikonduktor. Kekurangan chip global dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak pada produksi otomotif Indonesia, menyebabkan penundaan dan pengurangan produksi.
Keadaan seperti itu dapat memaksa perusahaan-perusahaan di sektor-sektor ini untuk mengambil langkah-langkah efisiensi, seperti mengurangi produksi, merumahkan pekerja, atau bahkan menutup operasi. PHK massal akan meningkatkan tingkat pengangguran, yang mencapai 5,45% pada tahun 2023, menurunkan daya beli konsumen, dan memperlambat pemulihan ekonomi. Lebih jauh lagi, hilangnya pendapatan dan ketidakpastian ekonomi dapat mengancam kesejahteraan penduduk secara luas, berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, yang mencapai 9,54% pada tahun 2023, dan memperburuk kesenjangan sosial.
Â
Threats to the Investment Climate
Ketidakpastian global dan gangguan yang berkepanjangan pada rantai nilai dapat menciptakan iklim investasi yang tidak menguntungkan di Indonesia. Investor asing, yang selalu mencari stabilitas dan prediktabilitas, cenderung menghindari negara-negara dengan risiko dan ketidakpastian yang tinggi terkait pasokan bahan baku atau pengiriman produk. Ketika GVC terganggu, investor khawatir akan kesulitan mendapatkan bahan baku, menghadapi peningkatan biaya produksi, dan menghadapi hambatan dalam mendistribusikan produk ke pasar internasional.Â
Jika Penanaman Modal Asing (PMA) menurun karena situasi ini, dampaknya akan merembet ke berbagai aspek ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dapat melambat karena berkurangnya modal untuk ekspansi bisnis, pengembangan teknologi baru, dan pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan ekonomi.Â
Selain itu, penurunan FDI juga dapat menghambat penciptaan lapangan kerja baru yang sangat dibutuhkan untuk menyerap tenaga kerja yang terus bertambah. Alih teknologi dari perusahaan asing yang berperan penting dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing industri dalam negeri juga akan terhambat.
Bukti dari dampak ini dapat dilihat pada angka FDI Indonesia untuk tahun 2023. Meskipun Indonesia berhasil menarik PMA sebesar 45,6 miliar USD, angka ini menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, beberapa sektor yang sangat bergantung pada GVC, seperti manufaktur dan otomotif, mengalami penurunan arus masuk PMA. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan pada rantai pasokan global memang mempengaruhi kepercayaan investor dan menghambat investasi di sektor-sektor utama ekonomi Indonesia. Untuk mengatasi tantangan ini dan menarik investasi asing yang berkelanjutan dan berkualitas tinggi, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah proaktif. Memperbaiki iklim investasi adalah kuncinya, termasuk memberikan kepastian hukum yang kuat, mengurangi hambatan birokrasi, dan mengembangkan infrastruktur yang memadai. Selain itu, penting juga untuk mempromosikan potensi pasar domestik yang besar dan ketersediaan tenaga kerja terampil sebagai daya tarik bagi investor asing. Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif dan menawarkan insentif yang menarik, Indonesia dapat tetap menjadi tujuan investasi yang menarik di tengah tantangan global.
Â
Inflation and Purchasing Power
Disrupsi pada rantai pasokan global memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, terutama melalui jalur inflasi. Ketergantungan Indonesia pada impor untuk berbagai barang kebutuhan pokok, seperti bahan baku industri, komponen elektronik, obat-obatan, dan bahkan makanan, membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga di pasar internasional. Ketika produksi atau distribusi di negara asal terhambat, baik karena bencana alam, konflik geopolitik, atau pandemi, pasokan barang-barang tersebut ke Indonesia menjadi terbatas. Akibatnya, harga barang-barang impor tersebut melambung tinggi dan memicu inflasi, khususnya inflasi yang didorong oleh impor.
Pada tahun 2023, Indonesia mengalami tingkat inflasi rata-rata sebesar 5,5%, melebihi kisaran target bank sentral sebesar 2 - 4%. Lonjakan inflasi ini sebagian disebabkan oleh gangguan pada rantai pasokan global, yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor seperti gandum, kedelai, dan minyak mentah. Dampak inflasi terutama dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Kenaikan harga barang-barang impor menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, dan perumahan, yang berpotensi menyebabkan penurunan kualitas hidup dan peningkatan angka kemiskinan. Selain itu, inflasi yang tinggi juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan investor, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk mengendalikan inflasi dan melindungi daya beli masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah komprehensif. Meningkatkan efisiensi distribusi barang, misalnya dengan meningkatkan infrastruktur logistik dan mengurangi hambatan perdagangan, dapat membantu menurunkan  biaya transportasi dan  mengurangi tekanan pada harga. Selain itu, memperkuat produksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor juga merupakan strategi yang penting. Diversifikasi sumber pasokan dan pengembangan industri substitusi impor dapat membantu mengurangi kerentanan Indonesia terhadap guncangan harga global.
Â
Opportunities for Strengthening the Domestic Economy
Meskipun disrupsi dalam rantai nilai global menimbulkan tantangan, gangguan tersebut juga memberikan peluang yang signifikan bagi Indonesia untuk memperkuat ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor. Gangguan-gangguan tersebut telah menyoroti kerentanan Indonesia terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan barang impor. Namun, situasi ini juga menciptakan momentum untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengembangkan industri substitusi impor yang kuat. Pemerintah memiliki peran penting dalam memanfaatkan peluang ini. Insentif fiskal, seperti pengurangan pajak atau pembebasan bea masuk untuk bahan baku yang digunakan dalam produksi dalam negeri, dapat menstimulasi investasi dan meningkatkan daya saing produk lokal. Insentif non-fiskal, seperti penyederhanaan prosedur perizinan usaha dan penyediaan akses pembiayaan yang lebih mudah, juga akan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif bagi pertumbuhan industri dalam negeri.
Selain itu, pemerintah perlu mengidentifikasi sektor-sektor strategis yang memiliki potensi substitusi impor yang tinggi, seperti manufaktur, pertanian, dan teknologi. Investasi yang ditargetkan di sektor-sektor ini, dikombinasikan dengan pengembangan infrastruktur pendukung seperti transportasi dan logistik, akan mempercepat pertumbuhan produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor. Pada tahun 2023, sektor manufaktur Indonesia tumbuh sebesar 5,03%, yang mengindikasikan potensi untuk ekspansi lebih lanjut dan substitusi impor. Sektor pertanian, yang mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja, juga mengalami pertumbuhan sebesar 3,67%, yang menunjukkan adanya peluang untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Meningkatkan kualitas dan daya saing produk dalam negeri juga merupakan kunci untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperluas pasar ekspor. Kebijakan yang mendorong inovasi, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja akan membantu menciptakan produk berkualitas tinggi yang dapat bersaing di pasar global. Dengan memanfaatkan peluang yang muncul dari disrupsi dalam rantai nilai global secara optimal, Indonesia dapat mencapai kemandirian ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Diversifikasi ekonomi, penguatan industri dalam negeri, dan peningkatan daya saing produk lokal akan membantu Indonesia menghadapi tantangan global dengan lebih tangguh, membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Tabel berikut ini merangkum tantangan dan peluang utama yang dihadirkan oleh runtuhnya GVC bagi perekonomian Indonesia:
Conclusion
Runtuhnya rantai nilai global memiliki implikasi yang luas dan kompleks bagi perekonomian Indonesia. Tantangan-tantangan seperti kerentanan sektor ekspor, dampaknya terhadap industri dalam negeri, ancaman terhadap iklim investasi, dan inflasi tidak dapat diabaikan. Namun, dengan kebijakan yang tepat dan langkah-langkah proaktif, Indonesia dapat mengatasi tantangan- tantangan ini dan bahkan memanfaatkannya sebagai peluang untuk memperkuat kemandirian ekonomi, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Diversifikasi ekonomi, penguatan industri dalam negeri, dan peningkatan daya saing produk lokal akan menjadi kunci untuk membangun fondasi yang kokoh bagi masa depan Indonesia.
Runtuhnya rantai nilai global telah mengekspos kerentanan Indonesia yang berasal dari ketergantungan pada perdagangan internasional dan integrasi ke dalam jaringan produksi yang kompleks. Gangguan ini telah bergaung di sektor-sektor ekspor utama, industri dalam negeri, iklim investasi, dan daya beli secara keseluruhan, sehingga menimbulkan tantangan yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Namun, di tengah-tengah tantangan tersebut, terdapat peluang bagi Indonesia untuk memperkuat ekonomi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor. Dengan berinvestasi secara strategis di sektor-sektor utama, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, dan membina lingkungan bisnis yang kondusif, Indonesia dapat memanfaatkan gangguan-gangguan ini untuk mencapai ketahanan ekonomi yang lebih besar dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Jalan ke depan membutuhkan pendekatan proaktif, dengan fokus pada diversifikasi, inovasi, dan pengembangan keterampilan, untuk menavigasi kompleksitas lanskap global yang terus berubah dan membangun fondasi yang lebih kuat untuk masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H